Selasa, 26 Agustus 2008

Tamara Geraldine Boru Tambunan


By Sahala Napitupulu

Ada banyak hal yang menarik keluar dari celotehnya ketika diajak berbicara tentang ulos Batak, meskipun kadang dengan gaya yang disampaikannya lewat canda. Itulah Tamara Geraldine, salah satu selebritis Batak kelahiran Jakarta, anak kedua dari pasangan ayah L.M.Tambunan dan ibu Y.boru Sibarani. Wajah cantik dengan senyumannya yang manis dahulu kerap kita temui dibeberapa acara stasiun televisi swasta sebagai presenter. Seperti dalam acaa sepakbola Liga Calcio di RCTI dan kuis hiburan Go Show di TPI, selain banyak menjadi model dan bintang iklan. Belakangan dia membuat kejutan sebagai penulis dengan menerbitkan kumpulan cerita pendeknya dalam judul lumayan panjang, “ Kamu Sadar Saya Punya Alasan Untuk Selingkuhkan Sayang “ dan buku keduanya tentang biografi penyanyi Yuni Sahara.

Ditemui dirumahnya dalam sebuah wawancara dengan Tapian (20/10), Tamara bertutur tentang seleranya terhadap ulos Batak. “ Saya enggak suka ulos yang terlalu colourfull, yang manik-maniknya terlalu banyak seperti jenis ulos Sadum. Saya suka dengan warna ulos yang redup karena mudah dikombinasikan. Menurut ompung saya, warna budaya Batak ini hanya ada tiga, yaitu merah, hitam dan putih. Saya suka ulos dengan tiga unsur warna itu saja paling dominan. Kalau sudah ada warna ungu dan segala macam warna, saya malas memajangnya, “ ujar Tamara. Dirumahnya dia memajang sejumlah ulos Batak, terutama ulos-ulos yang punya nilai historis dalam hidupnya. Diantara koleksinya ada ulos yang sudah berusia seratus tahun lebih yang dia dapat dari warisan ompungnya. Dia menata ruang rumahnya dengan keseimbangan antara unsur Oriental dan unsur Batak sehubungan dengann suaminya sendiri berasal dari Vietnam.

Tien Thinh Pham, pengusaha asal Vietnam yang telah mempersuntingnya 7 tahun silam, oleh keluarga Tamara telah dirajaon bermarga Nainggolan Parhusip. Perkawinan antar suku bangsa ini oleh keluraga Tamara tidaklah terlalu bermasalah sejauh mereka mau diadati dengan adat Batak Toba. “ Kalau kalian enggak diadatin, kalau suaminya enggak ada marganya, nanti kalau kalian diundang di pesta-pesta adat, kalian akan bingung mau duduk dimana, di paranak atau di parboru ? “ ujar Tamara menjelaskan alasan tuntutan keluarganya. Menurut Tamara suaminya tidakla terlalu sulit beradaptasi dengan adat budaya Batak, karena di negeri suaminya di Vietnam pun mengenal konsep Dalihan na tolu seperti di Batak. Boleh jadi benar, karena memang ada teori mengatakan orang Sumatera Utara, khususnya orang Batak, cikal bakalnya datang dari Phunam dan Phunam itu dari Indocina. Dengan dirajaon menjadi Nainggolan Parhusip, kata Tamara lagi, suaminya jadi merasa punya keluarga besar disini terutama karena pertalian Dalihan na tolu.

“ Cuma suamiku bilang orang Batak ini agak aneh. Orang Batak kalau bicara di pesta-pesta adat maupun acara penghiburan selalu dibuka dengan kata Jadi dan ditutup dengan kata Botima. Selalu begitu, diawali dengan kata Jadi lalu ditutup denga Botima. Ada apa dengan 2 kata itu ? “ cerita Tamara tentang pengamatan suaminya terhadap gaya bicara orang Batak. Dia dan suami, sejauh waktu memungkinkan, kerap juga menghadiri undangan pesta-pesta Batak, bahkan pernah mangulosi. “ Tapi itu dia, pernah ketika kami mau memberi ulos kepada mempelai, saya manortor, suami saya malah tari Cha Cha, “ kata Tamara sambil tertawa.

Saat ditanya pengalaman paling emosional yang pernah dia alami berhubungan dengan ulos, Tamara menyebut tiga peristiwa. “ Pertama, pada saa menikah, saya dan suami diulosi. Kedua, pada saat anak saya Tjazkaya Loedwige Poetry tardidi, kami sekeluarga diulosi. Dan ketiga, pada waktu ompung meninggal, tradisinya kami harus rebutan ulos ompung, “ katanya sambil mengingat-ingat kembali. “ Hanya saya enggak yakin, apa itu karena ulosnya atau karena momentnya, “ ujarnya menambahkan.

Bagi Tamara, ulos Batak itu hanya sebuah identitas etnik saja. Identitas dari mana dia berasal. Tidak lebih. Karena itu dia tidak pernah memberhalakan. Hal ini menyinggung adanya sebagian sikap orang Batak yang sangat mengkultuskan ulos pemberian hula-hula, orangtua, ompung atau tulang.

“ Ompung dan orangtuaku memang paradat, tapi waktu mengulosi kami, mereka selalu bilang ulos ini hanya simbol saja. Tapi tetap kalian berjalan supaya diiring Tuhan Yesus. Jadi jangan lihat ini sebagai benda yang mengikat atas kuasa yang lain, selain dari kasih Tuhan itu sendiri, “ kata Tamara menjelaskan sikap yang ditanamkan keluarganya dalam memandang ulos. Karena itu dia tak pernah mau membeli ulos yang dikerjakan dengan perhitungan hari-hari tertentu sehingga terkesan mistik dan berhala. Dia pun tak pernah berburu ulos secara khusus.

Menjawab pertanyaan Tapian tentang filosofi ulos baginya, Tamara merujuk apa yang pernah ia dengar. “ Ompung memetaforkan ulos itu sebagai selimut. Arti selimut, dia bisa kasih kehangatan kalau kita dingin, dia bisa menaungi kita dari hujan. Itu yang aku tahu, “ ujarnya. Dia mengakui tidak banyak mempelajari tentang sejarah dan filosofi ulos. Namun dimatanya ada keunikan orang Batak dalam memakai ulos. Misalnya ketika orang pergi ketempat duka cita, ulos yang dikenakan berbeda dan berbeda lagi ketika mereka pergi ketempat pesta.

Tetapi Tamara juga melihat ‘keanehan’ para waknita Batak dalam berbusana ke pesta adat perkawinan. “ Lihat saja dimana-mana pesta perkawinan para wanita Batak justru kebanyakan pake kebaya dan Songket Palembang. Datangnya ke pesta adat Batak tapi pakenya Songket Palembang, “ ujar Tamara menyayangkan. Menurut Tamara hal ini disebabkan belum ada perancang busana Batak yang dia anggap betul-betul serius dan berhasil dalam menangani ulos sebagai produk fashion. Tamara kemudian membandingkannya denga kain Batik Jawa. “ Lihat Batik Jawa. Batik bisa dijadikan baju sehari-hari tapi juga bisa tampil glamour, tentu karena ada perancang busana yang serius mengerjakannya, “ ujar Tamara mengkritisi kalahnya pamor ulos dalam mode dan produk fashion. Demikian Tamara berbagi pandangannya kepada Tapian.


* tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya pada majalah Tapian, edisi November 2007.

Jumat, 08 Agustus 2008

Parmalim Antara Agama Dan Budaya Batak

By Sahala Napitupulu.

Keberadaan agama Parmalim hampir saja berlalu dari ingatan sejarah. Tak banyak lagi orang mengenal atau pernah mendengar agama Parmalim, terutama kaum muda sekarang. Kalau saja saya tidak membaca laporan tulisan sdr.Ahmad Arif di harian Kompas tentang ritual kaum Parmalim di Laguboti, maka saya pun sudah lama melupakannya bahwa agama Parmalim pernah menjadi bagian dari sejarah di tanah Batak. Berdasarkan laporan tulisan sdr.Ahmad Arif, disebutkan pada pertengahan bulan Juli 2005, di Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, ternyata masih ada ribuan pengikut Parmalim. Mereka datang dari berbagai belahan nusantara. Mereka berkumpul di bale Partonggoan atau balai peribadatan dan melakukan upacara ritual mereka dibawah pimpinan raja Marnakok Naipospos ( cucu raja Mulia Naipospos ), sang pemimin spiritual umat Parmalim saat ini (Kompas 19/9-2005).

Sebagaimana saya sebutkan diatas, dengan laporan tulisan Kompas tersebut ingatan saya kembali merasa disegarkan dengan tanah Batak. Karena bagaimanapun, dahulu kala, Parmalim dalam sejarahnya, selain mengandung muatan teologia, agama Parmalim juga mengandung muatan lokal budaya Batak. Bahkan ia pun pernah menjadi suatu gerakan politik seperti gerakan Parhudamdam untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Parmalim hingga hari ini masih ada pengikutnya, meskipun sampai kini pemerintah belum mengakuinya sebagai agama resmi di Indonesia. Karenanya, tulisan saya ini tidak dalam posisi dukung-mendukung, kecuali hanya sebagai wacana dari sebuah ingatan sejarah. Jika pemerintah tidak mengakuinya sebagai agama resmi di Indonesia tentunya punya alasan kuat, sebagaimana mereka pun punya alasan mengapa sampai hari ini menjadi penganut Parmalim.

Tiga Tokoh Utama

Tanah Batak sebelum masa pendudukan kolonial Belanda, sebetulnya telah lebih dulu dimasuki para misionaris Eropa, terutama melalui zending Jerman Rheinesche Mission Gesselschaft (RMG) dengan tokoh utamanya Nommensen. Kedatangan para misionaris Eropa pada masa itu didorong oleh suatu semangat untuk memberitakan injil Yesus, mengembangkan agama Kristen, sehingga tanah Batak terbebas dari belengggu kegelapan rohani.

Namun kehadiran para misionaris itu kemudia menimbulkan pergesekan dan konflik dengan raja-raja Batak. Misalnya pengusiran yang pernah terjadi sekitar tahun 1824 atas Richard Burton, Nathanie Ward dan Evan Brookers yang berasal dari Baptis Mission Society di Inggris. Mereka mendapat perlawanan oleh raja-raja Batak ketika mencoba mengembangkan agama Kristen. Alasan penolakan oleh para raja Batak, karena mereka tak dapat meninggalkan budaya dan kepercayaan para leluhur Batak yang telah hidup sebelumnya. Bahakan konflik berlanjut menjadi tindakan pembunuhan, seperti yang terjadi pada tahun 1834 atas penginjil Samuel Munson dan Henry Lyman ( dari misi Kristen Amerika dan Boston ) di huta Sisangkak, Lobupining, dimana raja Panggalamei dan hulu balangnya diduga sebagai pelakunya.

Agaknya dalam lingkupan masuknya para misionaris Eropa itulah berkembangnya sekte Parmalim. Tetapi sebelum kedatangan para misionaris itu, tentu sudah ada agama kepercayaan para leluhur yang sudah hidup ditanah Batak, seperti nampak dalam ritual pesta Bius. Pesta Bius ini mempunyai sifat religius tetapi juga sekuler. Adalah Parbaringin yang bertindak selaku imam menyelenggarakan ritual dan upacara korban (fungsi religiusnya) tetapi kehadiran raja na-opat (raja berempat) sebagai wakil pemerintahan raja si Singamangaraja adalah fungsi sekulernya. Pesta Bius terjadi umpamanya untuk memohon turunnya hujan, menghentikan penyakit cacar, kolera atau wabah penyakit lainnya, atau untuk pesta tahunan yang bersifat kurban agricultural (sehabis panen). Umumnya orang berpendapat pesta Bius diselenggarakan adalah menurut pesan dari raja si Singamangaraja. Dahulu kala, dalam kehidupan rakyat di tanah Batak, dinasti si Singamangaraja bukan hanya merupakan raja-imam (priesterkoning), tetapi juga dianggap sebagai primus inter pares atau maha raja.

Tidak jelas betul siapa sebenarnya pendiri sekte Parmalim ini, meski ada tiga tokoh yang sering disebut-sebut sebagai tokoh utamanya, yaitu si Singamangaraja, Guru Somalaing Pardede dan raja Mulia Naipospos. Beberapa sarjana Barat seperti Karl Helbig dan Pedersen berpendapat bahwa munculnya agama ini dalam rangka usaha si Singamangaraja, sekitar tahun 1870, untuk menjaga agar agama Batak kuno tetap terbina dalam menghadapi agama Kristen, Islam dan penjajah Belanda. Mengingat Guru Somalaing dan raja Mulia Naipospos adalah bekas panglima perang si Singamangaraja, besar kemungkinan kedua tokoh inilah yang paling berperan dalam mengajarkan dan memperkembangkan agama Parmalim kepada rakyat di tanah Batak. Raja Mulia Naipospos konon pernah mendapat surat secara langsung dari si Singamangaraja untuk mengurus agama ini dan keberadaan surat itu masih dapat dilihat hingga kini di Huta Tinggi, Laguboti.

Akan halnya Guru Somalaing Pardede berasal dari Hauma Bange dekat Balige. Dia dikenal sebagai datu bolon (dukun besar). Masa itu kelompok datu harus dilihat sebagai kaum elit dan intelektuanlnya orang Batak. Merekalah yang menguasai ilmu gaib, penyembuhan, astrologi, sastra dan mengerti pustaha Batak. Selain sebagai datu bolon, Guru Somalaing pernah melakukan banyak perjalanan bersama Elio Modigliani menelusuri daerah-daerah di tanah Batak (1889-1891). Dialah pemandu perjalanan sekaligus penterjemah Elio Modigliani, ahli ilmu botani berkebangsaan Italia.

Dengan melakukan banyak perjalanan bersama Modigliani, Guru Somalaing dapat menyerap berbagai aliran keagamaan yang hidup di masyarakat waktu itu dan kemudian mencoba “ meramunya “ dalam konteks agama dan budaya Batak. Hal ini bisa dilihat dari adanya berbagai muatan agama dan budaya didalam agama Parmalim seperti Islam, Kristen dan agama kepercayaan para leluhur Batak. Guru Somaling yang memberi penafsiran tentang Trinitas menjadi terdiri dari Yehowa, Yesus dan Bunda Maria (masuknya unsurnya Katolik ini jelas melalui pengaruh Modigliani). Hanya dalam perkembangan selanjutnya, Guru Somalaing lebih menyebar luaskan ajarannya kepada gerakan politis dari pada teologis. Menyebar luaskan unsur kebencian terhadap orang kulit putih terutama kolonial Belanda nengakibatkan dia ditangkap. Guru Somalaing kemudian dibuang ke Kalimantan sekitar 1896.

Ritual Parmalim

Dalam ibadah kaum Parmalim ini, kemenyan (dupa) dan gondang digunakan. Gondang sebagai musik tabuh Batak justru dilarang misionaris Kristen. Juga air jeruk dalam ritus membersihkan diri. Babi dan darah tidak dimakan. Rambut dan kuku sedapat mungkin tidak digunting, serta poligami tidak dilarang. Dalam ritual kaum Parmalim, mereka juga mengutip ayat-ayat Perjanjian Lama. Tetapi mereka juga percaya dapat memanggil roh para leluhur seperti si Singamangaraja, raja Hatorusan dan Ompu raja Uti (tokoh mitologi Batak), Sideak Parujar dan Naga Padoha (dewa-dewa Batak), juga raja Rum dan raja Stambul (barangkali maksudnya Paus dan Sultan Turki).

Sebagaimana tulisan sdr.Ahmad Arif dalam Kisah Para Malim Tanah Batak, dijelaskan bahwa kata Parmalim sendiri bisa dipisahkan dalam dua kata, yaitu Par dan Malim. Par dalam bahasa Batak Toba berarti orang yang mengerjakan atau menganut sesuatu. Malim sendiri berasal dari bahasa masyarakat di pesisir pantai, baik Melayu maupun Minangkabau yang beragama Islam, yang artinya pemuka agama atau pintar dalam pengetahuan agama yang luas.

Namun patut dipertimbangkan dalam ucapan Batak kuno, si Singamangaraja biasanya disebut selaku orang yang 7 hali malim dan 7 hali solam. Pengertian malim disini ialah pengertian Batak kuno yang merujuk kepada imamat (keimaman). Artinya keimaman si Singamangaraja lebih tinggi dari imam-imam para pemimpin Batak yang lain seperti Parbaringin. Jadi makna perkataan malim disini tidak berhubungan dengan perkataan “alim” dalam bahasa Arab (Islam). Sedangkan Solam disini menekankan kemurnian dan kesucian, juga tidak ada hubungannya dengan salam atau salama dalam bahasa Arab. Menurut keyakinan si Singamangaraja I dan seterusnya, selaku raja-imam mereka harus mempertahankan kemurnian dan kesucian hidup, seperti holy man orang Hindu, supaya dapat berhubungan langsung dengan Mula Jadi Na Bolon atau Batara Guru.

Rumusan 7 kali malim dan 7 kali solam konon diambil dari permulaan doa orang Batak kuno yang ditujukan kepada si Singamangaraja : “ Hupio, hutonggo, hupangalu-alui sahala ni rajanta si Singamangaraja sian Toba Bakara, sian Bakara Dolok namardindingkon dolok na marhire-hireon ombun na 7 hali malim na 7 hali solam, sinolamhon ni omputa Mula Jadi Na Bolon..(Kuserukan, kudoakan, kusampaikan keluih kesahku kepada roh raja kita si Singamangaraja dari Toba Bakara, dari Bakara yang tinggi bertembokkan bukit, yang bertiraikan embun, yang 7 kali suci dan 7 kali putih bersih, yang diputih bersihkan oleh eyang kita Mula Jadi Na Bolon) “

Dan bandingkan disini dengan gelar si Singamangaraja XII pada tahun 1875, dalam rumusan doanya nampak dialamatkan pertama-tama kepada Ompung Mula Jadi Na Bolon, lalu kepada Debata Guru dan serangkaian dewa-dewa Batak yang menunjukkan adanya pengaruh agama Hindu, lalu kepada manusia seperti raja Rum dan lain-lain, seperti kutipan doanya dibawah ini : “ Ya Ompung Mula Jadi Na Bolon, Engkaulah yang menjadika segala yang ada, Engkaulah yang menjadikan telinga agar dapat mendengar, Engkaulah yang menjadikan mulut agar adapat berbicara, Engkaulah yang membulatkan jantung, yang mengembangkan loh hati, Engkaulah yang menjadikan kesepuluh jari agar dapat memohon. Kupanjatkan juga kepada Daompung Debata Guru, Naguru Doli, Na Guru panantanan dan Daompung Sorimangalabulan. Kemudian kusampaikan juga doaku kepada Daompung martua raja Uti, Uti yang tak kunjung mati. Kuserukan juga doaku kepada Daompung Tuan Soripada Aceh, Daompung martua raja Rum, kupohonkan juga doaku kepada namboru siboru Deak Parujar, yang banyak ujarnya, yang banyak pengetahuannya, yang berpakaian nan indah, yang cukup tingginya dan pantas rendahnya. Sudah jadi kupanjatkan doaku kepadamu sekalian. “

Dalam agama Batak kuno dipercaya sang pencipta segala sesuatu ialah Mula Jadi Na Bolon. Debata Guru adalah putra Mula Jadi Na Bolon yang paling terkemuka selain Soripada (yang mungkin berasal dari bahasa Sanskerta Sripada = jejak kaki yang suci) dan Mangalabulan. Mirip dengan Trimurti dalam Hinduisme.

Dahulu kala pengikut Parmalaim ini tersebar diseluruh wilayah Batak Toba, bahkan sampai ke daerah Lobutua, Barus. Mereka menganggap bahwa Huta Tinggi, Laguboti yang sekarang sebagai pusat kegiatan agama Parmalim sekarang ini. Disanalah raja Sutan Mulia Naipospos pernah mendirikan bale partonggoan atau bale peribadatan kaum Parmalim yang mirip dengan yang ada di daerah Bakara, pusat dinasti si Singamangaraja.


* tulisan ini telah dimuat sebelumnya di majalah budaya Batak, Bona Ni Pinasa, edisi Februari 2006.