Minggu, 01 Maret 2009

Tuak dari Ratapan si Beru Sibou



Didongengkan kembali oleh Sahala Napitupulu'

Tuak berasal dari pohon enau. Pohon itu sering juga disebut si Bagot. Dalam bahasa Indonesia dia dikenal sebagai pohon sementara mereka yang berbahasa Inggris menyebutnya sugar palm. Tuak bagi orang Batak sama kedudukan sosial dan budayanya dengan sake bagi orang Jepang. Atau barangkali mirip jamu bagi orang Jawa.

Tuak didorguk atau ditenggak bukan saja di lapo-lapo. Sejak dahulu kala dia sudah menjadi bagian dari budaya Batak. Pada upacara manuan ompu-ompu, misalnya, tuak sering digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak atau kuburan orangtua yang meninggalkan cucu. Bersama siraman tuak itu teriring harapan keturunan almarhum berumur panjang dan hidup makmur. Sementara dalam upacara manulangi, yaitu memberi makan kepada ompung atau orang tua, tuak juga tak ketinggalan ikut disajikan.

Dalam banyak hal, tuak bisa memberi orang kegembiraan. Lihat saja di lapo-lapo, orang-orang Batak berlisoi-lisoi dengan manorguk tuak. Mereka bernyanyi. Mereka tertawa. Tetapi, di balik kegembiraan itu ada air mata. Menurut legenda, tuak itu berasal dari air mata, tangisan dan ratapan seorang wanita. Nama wanita itu si Beru Sibou. Dialah yang menjelma menjadi pohon enau. Beginilah ceritanya.

Dahulu kala di sebuah desa, di belahan Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami istri dengan dua orang anak mereka yang masih kecil. Yang pertama, anak lelaki bernama si Tare Iluh, sedangkan yang kedua, anak perempuan, bernama si Beru Sibou. Keluarga ini berbahagia pada mulanya. Tapi, tak berlangsung lama. Suatu hari, begitulah konon, oleh karena serangan penyakit, sang suami meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian disusul pula oleh sang istri. Sehingga si Tare dan si Beru, pada saat masih kecil harus kehilangan kedua orangtuanya. Beruntung, mereka punya bibi yang baik hati. Dialah sebagai orangtua pengganti dan merawat mereka dengan kasih sayang.
Tahun demi tahun berlalu. Si Tare kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda, sedangkan si Beru Sibou tumbuh menjadi seorang gadis. Sebagai seorang pemuda yang sudah berpikiran dewasa, si Tare tak ingin selamanya menjadi beban bagi bibinya. Karenanya, ia ingin pergi merantau. Dia harus mencari uang. Ia ingin mengubah nasib mereka menjadi lebih baik.

Demikianlah, dalam suatu kesempatan, niat itu pun ia sampaikan pada adiknya, si Beru, orang yang paling ia sayangi.
“Begini Adikku. Abang kan sekarang sudah dewasa. Abang ingin mencari uang yang banyak, sehingga bibi tidak usah lagi bekerja keras mencari nafkah untuk kita. Karena itu, Abang akan segera pergi merantau,” kata si Tare pada adiknya. Mendengar itu si Beru tampak sangat terkejut. Lama dia terdiam. Ditatapnya abangnya berlama-lama, seperti tak percaya pada apa yang telah dia dengar.
“Tapi, bagaimana dengan Bibi, bagaimana dengan saya?” tanya sang adik dengan gundah. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia merasa takut kehilangan abangnya, si Tare Iluh, yang selama ini menjaganya dengan penuh kasih sayang. Dialah saudara satu-satunya.
“Adik harus tinggal untuk menemani bibi. Nanti, kalau Abang sudah berhasil mendapat uang yang banyak, Abang pasti akan segera kembali,” kata si Tare membujuk. Si Beru masih tampak keberatan.
“Percayalah Adikku, Abang pasti akan kembali kepadamu. Bibi pun sudah merestui kepergian Abang. Tinggal restumu Adikku yang Abang tunggu,’ ujarnya lagi. Si Beru terpaku. Lama sekali. Akhirnya, dengan perasaan berat hati dia pun menganggukkan kepala.
“Baiklah, jika bibi sudah merestui, Adik pun tak bisa menahan Abang. Adik akan merestu kepergian Abang. Namun, Abang jangan lupa kembali bila telah berhasil, secepatnya,” jawab si Beru yang kelihatan berusaha menahan perasaan sesak di dadanya. Tapi, tak tahan, tangisnya pun pecah. Si Tare lalu merangkulnya. Mereka bertangis-tangisan.

Demikianlah, keesokan harinya si Tare Iluh terlihat berjalan keluar dari desanya saat matahari baru terbit. Tujuannya: merantau ke negeri orang. Dia berjalan penuh semangat untuk mencari uang yang banyak. Sementara sepeninggal abangnya, si Beru Sibou tampak dirundung kesedihan dan kerinduan. Semakin hari kesedihan dan kerinduannya semakin mendalam.

Nanti punya nanti, rindu punya rindu, sudah beberapa tahun tak ada juga kabar berita mengenai abangnya. Ia tak tahu apa yang terjadi. Namun, dia punya firasat buruk. Sesungguhnya yang terjadi pada si Tare Iluh adalah sesuatu yang tak pernah dimimpikan sang adik. Di perantauan, dia bukannya mencari pekerjaan yang baik. Dia malah mencari tempat perjudian. Dia beranggapan dengan menang judi dia akan dapat uang banyak, tanpa harus bekerja keras. Maka berjudilah dia. Dan pertama kali dia mempertaruhkan nasib, dia memang menang. Ia senang. Dan ia beranggapan akan terus bisa menang. Ternyata, ia terus-menerus mengalami kekalahan. Uang yang sudah sempat terkumpul akhirnya habis.

Karena berharap bisa menang kembali dalam perjudian, dia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk dipertaruhkannya di meja judi. Apa daya, dia kalah. Dia meminjam uang lebih besar lagi. Berjudi lagi. Dan kalah lagi. Tak terasa utangnya sudah sedemikian besar dan dia tak dapat membayarnya. Akibatnya, penduduk setempat marah. Mereka memasungnya. Dia ditawan dan diperlakukan seperti binatang.

Suatu hari, kabar buruk yang menimpa kakaknya itu terdengar juga oleh si Beru Sibou dan bibinya. Mereka sangat terpukul mendengarnya. Berita itu juga yang membuat bibinya jatuh sakit. Semakin hari semakin parah. Dan, beberapa minggu kemudian bibinya meninggal. Si Beru Sibou meratapi nasibnya yang malang. Kini, dia hanya sebatang kara. Lalu diputuskannyalah pergi untuk mencari si Tare Iluh.

Dengan bekal secukupnya, dia pun berangkat mencari abangnya, sekalipun dia tak tahu di negeri mana sang abang berada. Berhari-hari dia berjalan kaki, keluar masuk hutan belantara, melewati lembah dan menyeberangi sungai. Sampai suatu ketika dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang kakek tua. Dia menyapa, memperkenalkan diri, dan menguraikan masalahnya, serta bertanya: ”Kek, apakah Kakek pernah bertemu dengan bang saya?”
“Siapa nama abangmu,” sahut si Kakek bersimpati.
“Tare, si Tare Iluh, Kek.”
“Oh, sepertinya Kakek pernah mendengar nama itu. Kalau tak salah, dia adalah pemuda yang gemar berjudi dan sekarang sedang dipasung penduduk setempat,” jawab si Kakek dengan nada prihatin.
“Ya, begitulah kabar yang saya dengar, Kek. Tapi, apakah Kakek tahu di negeri mana dia?” si Beru menimpali.
“Sungguh Kakek tidak tahu. Tapi, kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“ Apa saran Kakek itu?” tanya si Beru penuh minat.
“Panjatlah sebatang pohon yang tinggi, naiklah sampai di puncaknya. Kemudian bersenandunglah sambil memanggil-manggil nama abangmu. Barangkali penduduk negeri itu, atau abangmu, akan mendengarnya. Angin akan membawa suaramu kepada mereka,” kata sang Kakek sebelum dia berlalu.

Tanpa berlama-lama, si Beru segera mencari pohon yang paling tinggi. Dia memanjatnya hingga ke puncaknya. Di situ, si Beru segera bernyanyi, bersenandung memanggil nama Tare Iluh sambil menangis. Dia juga memohon supaya penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi membebaskannya. Sudah berjam-jam dia bersenandung dan menangis di puncak pohon itu, namun tak seorang pun mendengarnya. Si Beru terus bersenandung dan meratap sampai suaranya parau. Dia bernyanyi sampai kehabisan tenaga dan putus asa. Akhirnya, dia lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada penguasa jagad raya.
“Ini aku si Beru Sibou bersedia melunasi semua hutang abangku. Aku merelakan air mataku. Aku merelakan tubuhku ini untuk dimanfaatkan penduduk yang memasung abangku. Akulah ganti untuk kebebasannya,” ucap si Beru dengan syahdu, bersunguh-sungguh.
Tak lama setelah permohonannya itu dia ucapkan, datanglah angin bertiup kencang. Langit segera mendung. Halilintar berpindar dan menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou menjelma menjadi sebatang pohon enau. Air matanya yang terus mengalir itu lalu menjadi tuak. Minuman yang memberi penduduk negeri itu kegembiraan, terutama ketika mereka meminumnya sambil bersenandung.

Tentang nasib si Tare Iluh, di dalam legenda dikisahkan, setelah dibebaskan oleh penduduk negeri itu, dia mencoba mengetuk nasib yang lain, merantau ke lain negeri. ***


* cerita ini juga telah dimuat di majalah TAPIAN, edisi Maret 2009