Senin, 06 April 2009

Bangso Batak di Swiss





Teks dan foto Alfonco Sinaga *


Bangso Batak adalah sebuah bangsa yang sudah mendunia. Mereka tidak cukup hanya pergi ke luar merantau dari Bona Pasogit lalu menyebar ke penjuru Nusantara. Mereka juga menjelajahi seluruh penjuru dunia. Pepatah mengatakan “ dimana kaki berpijak disitu langit dijunjung, “ nampaknya merupakan salah satu modal yang tertanam di benak masing-masing dari mereka sebelum melangkah jauh sampai ke ujung dunia, jauh meninggalkan Bona Pasogit.

Eropa merupakan tanah yang banyak dijadikan mimpi oleh orang Batak. Tak terkecuali Swiss, yang dikenal sebagai salah satu negeri paling aman di dunia, karena kenetralannya. Banyak orang-orang dari seluruh penjuru dunia menyimpan uang di bank-bank Swiss karena alasan keamanan (security). Itulah salah satu contoh betapa aman dan nyamannya negeri ini.

Swiss adalah sebuah negera konfederasi yang berasaskan demokrasi, beribukotakan Bern, dipimpin seorang presiden yang setiap tahun berganti. Negeri ini merdeka sejak 1 Agustus 1291. Dia adalah negeri daratan, tak punya laut, luas wilayahnya sekitar setengah dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Penduduknya kurang lebih 7,6 juta atau sedikit lebih banyak dari populasi orang Batak yang mencapai sekitar 7 juta jiwa.

Negara yang punya puluhan danau ini, sangat membanggakan. Pegunungan Alpen yang terbentang megah di perbatasan dengan Italia. Salju abadi (gletsier) menjadi daya tarik wisata mancanegara yang merupakan salah satu andalan perekonomian negeri ini. Bahasa Jerman, Perancis, Italia serta Romansch adalah bahasa resmi.

Nah,di Swiss ada dua ratusan jiwa orang Batak. Bagaimanapun orang Batak di rantau, mestilah pintar membawa diri dan beradaptasi, bila tidak maka penolakan akan sendirinya datang dari penduduk setempat. Cara hidup dan kebiasaan sehari-hari tentu harus mengikuti peraturan dan budaya setempat. Begitulah komunitas orang Batak di Swiss dapat tetap eksis dan malah dari waktu ke waktu semakin bertambah. Mayoritas orang Batak di Swiss adalah berkat perkawinan campur. Kebanyakan adalah sang istri yang orang Batak, namun beberapa ada juga sang suami yang menikah dengan orang Swiss. Sementara suami-istri yang terdiri dari orang Batak sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari.

Namun demikian, yang namanya orang Batak, tidak pernah lupa akan budaya aslinya, yaitu senang berkumpul dan senang menari serta bernyanyi. Sekalipun sudah puluhan tahun di negeri orang, budaya orang Batak itu tidak bisa lekang, malah semakin ada kepeduliaan akan keinginan bahwa orang Batak haruslah tetap menjaga prinsip “ dalihan natolu “ yang salah satunya adalah manat mardongan sahuta. Ada anggapan bahwa setiap orang Batak yang berdomisili di Swiss adalah dongan sahuta, sehingga dirasa perlu untuk saling bertegur sapa dan berkumpul dalam sebuah acara.

Tema Piknik

Orang Batak di Swiss tidak punya kumpulan seperti punguan marga atau parsahutaon di kota-kota besar di Indonesia. Namun demikian, berkat kepemimpinan yang dituakan seperti pak M.Napitupulu/N br.Simanjuntak, yang sudah lebih dari 33 tahun tinggal di Swiss, maka seluruh orang Batak di negeri ini sangatlah terjaga keharmonisan satu dengan lainnya.

Sudah menjadi tradisi orang Batak di Swiss, bahwa ada dua kegiatan rutin tiap tahun, yang dilakukan dalam rangka memupuk rasa kekeluargaan serta tidak mengesampingkan nilai sukacita yang dihadirkan dari kedua kegiatan rutin tahunan tersebut. Kegiatan pertama dinamakan Piknik Batak,biasanya mengambil waktu pada setiapbulan Juni, bertempat di daerah Zurich. Kegiatan ini lebih menekankan pada tema pikinik, yang melibatkan seluruh keluarga, mulai dari anak-anak sampai orangtua. Piknik diadakan biasanya di tepi pantai danau Zurich. Acaranya dikemas dari pagi sampai malam. Maklum pada musim panas matahari masih bersinar terang sampai pukul 10 malam. Maka tak terasa kalau sudah malam.

Kegiatan kedua adalah pesta Batak. Biasanya dilakukan setiap September, masih suasana musim panas. Acaranya hampir sama dengan Piknik Batak. Bedanya Pesta Batak tuan rumahnya bergiliran secara suka rela. Bernyanyi, menari, manortor, makan siang bersama, sajian makanan khas Batak, markombur dan sebagainya, sudah merupakan cirri dan tradisi kedua acara ini.

Begitulah kominitas orang Batak menikmati hidupnya di negeri orang, di Swiss.Disamping mereka dapat terus mempertahankan eksistensi, mereka juga tidak pernah lupa akan tradisi yang turun-temurun, sebagaimana yang tetap dipelihara oleh seluruh Bangso Batak di seluruh penjuru dunia ini. Horas Bangso Batak di seluruh dunia !


* penulis menetap di Swiss, bekerja sebagai manajer di perusahaan peralatan listrik
* tulisan ini telah dimuat sebelumnya di majalah Tapian edisi April 2009.

Kutukan Nenek,Muncullah Lau Kawar di Karo




Didongengkan kembali oleh : Sahala Napitupulu.

Tanah Karo pada zaman dahulu kala. Tersebutlah sebuah kampung yang subur dan permai, desa Kawar namanya. Di desa itu terdapat sebuah mata air yang dimanfaatkan penduduk sebagai sumber air minum. Penduduknya hidup dari bertani. Dan jika mereka habis panen, biasanya akan digelar Gondang Guro-Guro Aron, musik khas masyarakat Karo. Dalam acara itu penduduk akan bersuka cita, berdendang dan manortor. Remaja lelaki dan perempuan akan manortor berpasang-pasangan. Begitulah cara penduduk Kawar mengadakan selamatan atas panen yang mereka nikmati.

Pada suatu waktu, Desa Kawar mengalami panen raya. Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Hasil panen meningkat dua kali lipat. Lumbung-lumbung penduduk penuh semua dengan padi. Bahkan banyak warga harus membuat lumbung-lumbung baru, supaya dapat memuat hasil panen yang melimpah. Untuk mensyukuri atas panen raya ini, warga desa Kawar telah bersepakat untuk mengadakan pesta “ Mejuah-juah “ satu hari penuh, diisi dengan upacara adat dan makan besar secara bersama.

Hari pesta itu pun tiba. Desa Kawar tampak semarak. Pagi-pagi warga telah datang ke tempat pesta digelar. Di sebuah lapangan terbuka, disitulah mereka berkumpul. Mereka memakai pakaian aneka warna nan indah. Sebagian kaum perempuan tampak sibuk memasak. Memasak berbagai macam masakan untuk disantap bersama dalam upacara tersebut.

Di sebuah rumah didekat mata air itu, tinggallah seorang nenek tua renta. Dia menderita sakit, lumpuh. Ia baru saja melepas kepergian anak, menantu dan cucunya untuk hadir dalam upacara itu. Ia terbaring dalam kesendiriannya. Rasa sepi menyergapnya.

Beberapa saat berlalu. Kemudian, sayup-sayup ia mulai mendengar suara Gondang Guro-guro Aron telah ditabuh. Angin juga membawa suara derai tawa gembira ke telinganya. Ia menebarkan pandangannya ke luar melalui jendela kamarnya. Ia tersenyum tiap kali mendengar keriuhan pesta itu. Dan teringatlah ia ketika dahulu masih remaja. Lelaki dan perempuan manortor berpasangan-pasangan dan ia ada diantara mereka. Banyak pemuda berlomba ingin berlama-lama manortor dengannya. Maklum, dahulu ia tidak hanya pandai manortor. Ia juga terkenal sebagai kembang desa Kawar. Alangkah bahagianya saat-saat seperti itu. Beberapa saat berlalu. Suara keriuhan pesta makin terdengar jelas.

“ Ya, Tuhan, betapa aku ingin berada di pesta itu. Aku ingin manortor sepuas hatiku. Tapi, usia tua dan kelumpuhan ini membuatku tak berdaya, “ jeritnya dalam hati. Beberapa saat kemudian airmatanya pun turun berderai. Airmata kerinduan, kesepian dan penyesalan akan nasib. Kadang ia merasa seperti orang tak berguna.

Tiba saatnya makan siang. Musik Gondang dihentikan sementara. Semua warga desa Kawar berkumpul untuk menyantap hidangan makan siang yang telah tersedia. Dengan lahap mereka menyantapnya. Panggang babi dan gulai sapi tersaji bersama nasi yang masih mengepul. Semua bergembira. Sesekali terdengar tawa riuh mereka karena ada saja yang membuat lelucon. Kegembiraan itu menyebabkan mereka lupa pada sang nenek yang terbaring dirumahnya dalam keadaan kelaparan. Anak, menantu dan cucunya mjuga lupa padanya. Waktu terus berlalu. Sejak tadi si nenek telah mengharapkan kiriman nasi dan lauknya, yang akan dibawa oleh cucunya si Tongat. Tapi, tunggu punya tunggu, tak ada seorang pun yang datang.

Sakit perutnya makin melilit karena didera kelaparan yang sangat. Ia tak kuat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada padanya, ia mencoba turun dari ranjangnya. Tapi, ia kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh. Ia tersungkur kelantai tanah, karena tak kuat menahan beban tubuhnya sendiri. Ia mencoba merangkak. Perlahan dan tertatih ia merangkak menuju ke dapur untuk melihat kalau-kalau ada yang bisa ia makan. Tapi tak ada apa-apa. Rupanya, anak dan menantunya hari itu sengaja tidak memasak. Pikir mereka, ditempat pesta akan tersedia banyak makanan, sehingga nanti mereka tinggal mengambilnya dan mengirimkan makanan itu melalui cucunya si Tongat.

Beberapa saat kemudian. Tubuh si nenek tampak gemetar menahan kelaparan. Di dapur ia tak mendapatkan apa-apa. Ia sangat kecewa. Dengan beringsut dan tertatih-tatih ia kembali ke pembaringannya. Nafasnya tersenggal menahan rasa kecewa dan kemarahan. Ia merasa seperti disia-siakan. Kemudian airmatanya berderai meratapi nasibnya dan penderitaannya.
“ Oh Tuhan, aku sudah tak kuat menahan rasa lapar ini, “ tangisnya sembilu “ Mereka sungguh tega membiarkan aku menderita seperti ini, “ ujanya seperti berbisk mengungkapkan rasa kecewanya.
Sementara itu, pesta makan sore dalam upacara itu baru saja usai. Sang anak tiba-tiba teringat pada ibunya di rumah. Ia segera menghampiri istrinya.

“ Istriku, apakah kamu tadi sudah mengantar makanan untuk ibu ? “ tanyanya lekas.
“ Belum, suamiku, “ jawab sang istri.
“ Ibu sudah pasti kelaparan. Segeralah kau bungkus makanannya, lalu suruhlah si Tongat, anak kita, untuk menghantarkannya ke rumah, “ perintyah sang suami.
“ Baiklah, “ jawab sang istri. Wanita itupun bersegera membungkus makanannya, lalu memanggil anaknya. “ Tongat, antarkan makanan ini kepada nenekmu di rumah, “ perintahnya pada sang anak.
“ Baik, bu, “ jawab Tongat sambil menerima bungkusan makanan. Ia pun berlari membawa makanan itu pulang. Beberapa saat berlalu. Sesampainya di rumah, Tongat segera menyerahkan bungkusan itu kepada neneknya.
“ Ini makanannya, Nek. Tapi nenek makanlah sendiri karena Tongat harus kembali ke tempat upacara, “ ujarnya bergegas kembali. Dengan sisa tenaga yang ada padanya, sang nenek membuka bungkusan makanan tersebut.

Ia telah membayangkan akan menikmati makanan yang lezat. Namun, ketika bungkuan tersebut dia buka, betapa dia kecewa, karena mendapati isinya hanyalah sisa-sisa makanan. Beberapa tulang sapi dan kambing yang hampir sudah habis dagingnya, dan sedikit sisa nasi. Itulah yang dia dapatkan.

Ia seperti tak percaya apa yang dia lihat. “ Ya, Tuhan, apa mereka sudah menganggapku seperti binatang ? Mereka hanya memberiku sisa-sisa makanan dan tulang-tulang. Mereka sekarang telah terang-terangan menghinaku. Sungguh, tak dapat kumaafkan penghinaan mereka, “ tangis si nenek meledak dalam kemarahan yang sangat.

Sebetulnya, bungkusan tersebut berisi lauk daging yang masih utuh, termasuk didalamnya babi panggang satu porsi dan nasi yang cukup untuk si nenek. Tetapi, ditengah jalan, si Tongat telah memakan sebagian isi bungkusan itu, sehingga yang tersisa hanyalah tulang-tulang.

Tiada si nenek mengetahui kejadian yan sebenarnya. Ia mengira anak dan menantunya telah tega melakukan hal itu padanya. Dengan perlakuan seperti itu, hatinya terasa hancur. Air matanya terus-menerus mengalir menyesali keadaan yang telah terjadi. Maka ia pun kemudian berdoa kepada penguasa alam untuk mengutuk anak dan menantunya itu.
“ Mereka telah berbuat durhaka kepadaku. Sekarang aku menyumpahi mereka, “ ujarnya memohon kepada penguasa alam semesta. Beberepa saat berlalu. Tiba-tiba langit tampak mendung. Guntur dan kilat tampak bertalu-talu memecah langit. Bersamaan turunnya hujan lebat, desa Kawar digoncang oleh gempa bumi.

Seluruh penduduk yang tadi sangat bersuka cita, seketika menjadi panik. Wajah-wajah ketakutan tampak dimana-mana. Jerit tangis terdengar dimana-mana. Namun, mereka tak bisa menghindar dari keganasan alam yang dahsyat itu. Dalam sekejap, desa Kawar yang subur dan makmur tenggelam oleh karena hujan deras yang tiada henti selama berhari-hari. Beberapa hari kemudian, desa itu telah beruba menjadi sebuah kawah besar yang dipenuhi genangan air. Demikianlah oleh masyarakat Karo, kawah itu diberi nama Lau Kawar. Danau yang terletak sekitar 80 km dari Medan.


* ceria ini juga telah dimuat di majalah TAPIAN, edisi April 2009.