Selasa, 02 Juni 2009
Dalihan Na Tolu Tetap Berkilau di Brisbane
Teks & foto oleh : Martua Hutabarat
“...Let’s have a barbie this afro in Guyatt Park, and don’t forget to bring your own coldies...”
Seorang penulis dan ahli sosiologi beranggapan bahwa ada beberapafaktor yang menyebabkan semakin terkikisnya modal sosial di masyarakat itu, diantaranya kemajuan teknologi, materialisme dan individualisme. Masyarakat tidak lagi berkomunikasi dengan tetangganya, bertegur sapa, dan bahkan terputus hubungan dengan sahabat atau keluarga dan familinya, serta semakin berkurang berinteraksi dengan lingkungannya. Segala kebutuhannya dapat dipenuhi melalui teknologi, seperti internet. Menonton film-film terbaru, belanja, bahkan bertegur sapa, dapat dilakukan dari rumah. Secara fisik, mereka semakin terasing dari lingkungannya.
Namun, hal ini tidak (belum) terjadi di komunitas Batak yang ada di Brisbane, Australia. Rasa kekeluargaan, dan juga persaudaraan yang kental serta keinginan untuk berkumpul dan bersosialisasi masih tertanam kuat di darah masyarakat Batak. Salah satu buktinya adalah pesan singkat yang tertera di awal tulisan ini, yang dalam bahasa Indonesia, “ Ayo kita mengadakan acara barbeque di Guyatt Park, dan jangan lupa bawa minuman”.
Pesan tersebut biasanya dikirim melalui sms atau electronic mail. Saling berkomunikasi dan bertegur sapa tidak bisa dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Batak, dimanapun mereka berada. Kemajuan teknologi tidak menghalangi persekutuan dan saling tegur sapa, dan itu merupakan bukti bahwa modal sosial seperti komunikasi, saling interaksi dan aktivitas sosial yang semakin memperkuat kohesi diantara mereka, masih tertanam kuat dan berakar pada masyarakat Batak. Dan ini jugalah salah satu yang membedakan masyarakat yang berbudaya Timur dan yang berbudaya Barat.
Australia merupakan negara benua yang multi etnis. Secara goegrafis dan politis sangat berkepentingan dengan Indonesia, dan daratannya (7,6 juta km2) tiga kali lebih luas dari Indonesia, namun penduduknya hanya sepersepuluh total penduduk Indonesia, yakni lebih kurang 21 juta jiwa.
Mengadu nasib
Mantan Duta besar Indonesia untuk Australia, Sabam Siagian, pernah mengatakan bahwa secara langsung dan tidak langsung, keamanan Australia ditentukan oleh Indonesia. Situasi dan kondisi di Indonesia juga menentukan situasi dan kondisi di Australia.. Republik Indonesia yang stabil inilah akhirnya menjadi semacam tameng geopolitik yang menenteramkan bagi Australia sehingga rasa keterpencilannya sebagai negara yang berbudaya “ Barat “ yang dikelilingi oleh negara-negara Asia yang berbudaya “ Timur “ kurang lebih dapat diatasi. Selain itu, Indonesia juga membutuhkan Australia karena keunggulannya di bidang teknologi, sains dan manajemen organisasi. Banyak pelajar, bahkan masyarakat indonesia mengadu nasib dan peruntungannya di Negeri Kangguru tersebut.
Komunitas Batak Brisbane tergabung dalam beragam kegiatan dan organisasi, dan salah satunya adalah WKI atau warga Kristen Indonesia. WKI merupakan wadah bagi warga Indonesia di Brisbane yang beragama Kristen dan berasal dari denominasi gereja yang berbeda dan berasal dari suku-suku yang ada di Indonesia. Seperi Batak, Jawa, Manado, Ambon, Papua, Dayak dan juga warga Indonesia yang menikah dengan orang Australia. Selain itu, baik yang sudah permanent resident ataupun temporary juga bergabung di WKI. Acara ibadah diadakan bergantian, terkadang di Gereja, taman, atau dirumah keluarga Kristen Indonesia. Setiap keluarga atau pribadi membawa makanan atau minuman masing-masing, atau di Australia terkenal dengan istilah BYO (Bring Your Own), kemudian dikumpulkan untuk dikonsumsi bersama.
Salah seorang tokoh masyarakat Batak yang telah tinggal lebih dari 30 tahun di Brisbane, Amang Togar Siahaan, mengungkapkan bahwa tidak ada organisasi resmi untuk komunitas Batak, apalagi kumpulan marga-marga seperti yang lazim ditemui di Indonesia. Lebih lanjut dia mengemukakan bahwa komunitas batak di Brisbane tidak terlalu banyak, dan jumlah atau populasinya kurang dapat diketahui dengan pasti.
Albert Hutabarat, yang juga merupakan tokoh masyarakat Batak di Brisbane juga sependapat dengan hal tersebut. Jumlah pasti orang Batak tidak dapat diketahui karena umumnya masyarakat yang datang ke Brisbane adalah pelajar atau pekerja yang tinggal sementara di Brisbane. Hal ini menyebabkan sangat sulit untuk memastikan jumlah masyarakat Batak di Brisbane. Kedua tokoh masyarakat ini sudah menjadi permanent resident di Brisbane, dan bahkan sudah membuka usaha sendiri.
Namun, jumlah yang sedikit, tidak menjadi penghalang untuk berkumpul dan bertemu serta menjalin keakraban dan kekeluargaan satu dengan yang lainnya. Sebagian besar masyarakat Batak yang berada di Brisbane juga adalah mahasiswa. Umumnya mereka study tingkat lanjut di beberapa Universitas yang terdapat di Brsibane, seperti The University of Queensland dan Queensland University of Technologuy. Para mahasiswa Batak tersebut, ada yang studi dibiayai oleh orangtua, namun ada juga yang dibiayai oleh sponsor, baik dari Indonesia dan dari luar negeri, termasuk beasiswa pemerintah Australia. Masa studi mereka beragam, antara 2 sampai 5 tahun, tergantung dari program yang dipilih.
Saling Berbagi Saling Bercerita
Masyarakat Batak sangat menjunjung tinggi adat dan kebiasaan positif di mana pun mereka berada. Prinsip “Dalihan Na Tolu” merupakan akar kuat dalam bermasyarakat dan berinteraksi dengan keluarga yang menjadi ciri khas spesifik masyarakat Batak yang tidak dimiliki oleh suku atau bangsa lain. Prinsip itu juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan di Brisbane Australia. Komunitas Batak yang ada di Brisbane menganggap bahwa mereka adalah satu keluarga, sehingga sudah selayaknya saling menghormati, dan saling mendukung di tanah orang. Mengenai acara-acara adat, umumnya masyarakat Batak mengadakannya di Bona Pasogit, seperti pesta pernikahan. Hal ini karena komunitas batak yang ada di Brisbane tidak terlalu banyak. Namun, setelah acara di Bona Pasogit tersebut, biasanya akan diadakan acara kebaktian atau ibadah di Brisbane. Seperti ibadah bulanan WKI, diisi dengan acara saling berbagi, saling bercerita dan tentu saja yang terutama, beribadah.
Mahasiswa Batak yang studi di University of Queensland biasanya menyumbang lagu pujian di setiap ibadah bulanan WKI. Selain itu, masyarakat Batak yang ada di Brisbane juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan seni dan kebudayaan. Salah satu yang sangat terkenal di Brisbane adalah “ Angklung Performance “. Di setiap acara-acara besar dan juga acara kesenian, selalu ada permintaan untuk menampilkan permainan angklung, dan masyarakat Brisbane sangat menghargai dan mengapresiasi kesenian dan budaya yang sangat beragam dimiliki oleh Indonesia.
Saat ini sedang didiskusikan untuk membentuk kelompok kesenian Batak, yang dapat menampilkan tarian tor-tor ataupun lagu dalam bahasa Batak. Lebih lanjut, ada keinginan dari mahasisa dan mahasiswi Batak yang ada di Brisbane untuk membentuk suatu organisasi resmi komunitas Batak, dan tentu saja hal ini perlu didiskusikan dengan orang tua Batak yang ada di Brisbane.
Putra dan Putrinya
Salah satu prinsip atau tradisi turun-temurun masyarakat Batak yang sangat membanggakan adalah prinsip “anakkon ki do hamoraon di ahu”. Dimanapun orang Batak berada, prinsip yang sudah menjadi salah satu falsafah hidup orang Batak ini, selalu menjadi patokan yang mendasari aktivitas atau motivasi mereka dalam mendidik anak-anaknya. Sebisa mungkin, pendidikan bagi anak-anaknya diberikan hingga ke jenjang yang paling tinggi, atau memberikan pendidikan seni sesuai dengan talenta atau keterampilan anak-anaknya.
Pak Albert Hutabarat, misalnya, memberikan les atau keterampilan bermain piano bagi putrinya, dan mendapat ujian atau sertifikasi dari pemerintah setempat. Putrinya yang sangat mahir bermain piano ini sering diundang pada acara-acara ibadah atau kegiatan lainnya. Meskipun usianya masih sangat belia, namun dengan talenta, kemampuan berbahasa Inggris dan pemahaman notasi yang luar biasa, bukan hal yang mustahil akan muncul pianis Batak andalan dari Australia. Dan inilah yang juga menjadi harapan orang tuanya, dengan memberikan kesempatan untuk belajar seluas-luasnya kepada putra dan putrinya.
Pertemuan-pertemuan, saling berkomunikasi dan beribadah merupakan salah satu kunci untuk dapat bertahan di negeri orang. Selain itu, pemeliharaan Tuhan juga patut disyukuri. Salah seorang anggota masyarakat Batak mengatakan bahwa doa dan perenungan akan Firman Tuhan serta iman kepada Allah yang hidup merupakan modal utama dan bekal hidup untuk dapat berhasil dan bertahan di negeri orang. Salah seorang pemuda Batak yang tergabung dalam komunitas Batak Brisbane tersebut memberikan salah satu ayat Alkitab yang menjadi pegangannya dalam merantau, yakni Yosua 1:8 “Unang meret buku ni patikon sian pamanganmu, sai pingkirpingkiri ma i arian dohot borngin, asa diradoti ho, jala dipatupa ho, hombar tu sude na tarsurat di bagasan i, asa maruntung ho di angka dalanmu, jala marmulia parulaonmu”.
Itulah sekilas mengenai kehidupan dan aktivitas masyarakat Batak yang terdapat di Brsibane, Australia. Tentu saja, untuk mempertahankan eksistensinya, selain berinteraksi dengan sesama warga Indonesia, hubungan dengan masyarakat Australia juga mutlak diperlukan. Dan, tentu saja, tradisi turun temurun yang menjadi ciri khas orang Batak tersebut tetap dipertahankan dan dilaksanakan dimanapun mereka berada. Horas!
* Dosen di Universitas Negeri Papua, manokwari, Papua Barat.
* Tulisan ini telah dimuat dimajalah TAPIAN edisi Juni 2009.
Senin, 06 April 2009
Bangso Batak di Swiss
Teks dan foto Alfonco Sinaga *
Bangso Batak adalah sebuah bangsa yang sudah mendunia. Mereka tidak cukup hanya pergi ke luar merantau dari Bona Pasogit lalu menyebar ke penjuru Nusantara. Mereka juga menjelajahi seluruh penjuru dunia. Pepatah mengatakan “ dimana kaki berpijak disitu langit dijunjung, “ nampaknya merupakan salah satu modal yang tertanam di benak masing-masing dari mereka sebelum melangkah jauh sampai ke ujung dunia, jauh meninggalkan Bona Pasogit.
Eropa merupakan tanah yang banyak dijadikan mimpi oleh orang Batak. Tak terkecuali Swiss, yang dikenal sebagai salah satu negeri paling aman di dunia, karena kenetralannya. Banyak orang-orang dari seluruh penjuru dunia menyimpan uang di bank-bank Swiss karena alasan keamanan (security). Itulah salah satu contoh betapa aman dan nyamannya negeri ini.
Swiss adalah sebuah negera konfederasi yang berasaskan demokrasi, beribukotakan Bern, dipimpin seorang presiden yang setiap tahun berganti. Negeri ini merdeka sejak 1 Agustus 1291. Dia adalah negeri daratan, tak punya laut, luas wilayahnya sekitar setengah dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Penduduknya kurang lebih 7,6 juta atau sedikit lebih banyak dari populasi orang Batak yang mencapai sekitar 7 juta jiwa.
Negara yang punya puluhan danau ini, sangat membanggakan. Pegunungan Alpen yang terbentang megah di perbatasan dengan Italia. Salju abadi (gletsier) menjadi daya tarik wisata mancanegara yang merupakan salah satu andalan perekonomian negeri ini. Bahasa Jerman, Perancis, Italia serta Romansch adalah bahasa resmi.
Nah,di Swiss ada dua ratusan jiwa orang Batak. Bagaimanapun orang Batak di rantau, mestilah pintar membawa diri dan beradaptasi, bila tidak maka penolakan akan sendirinya datang dari penduduk setempat. Cara hidup dan kebiasaan sehari-hari tentu harus mengikuti peraturan dan budaya setempat. Begitulah komunitas orang Batak di Swiss dapat tetap eksis dan malah dari waktu ke waktu semakin bertambah. Mayoritas orang Batak di Swiss adalah berkat perkawinan campur. Kebanyakan adalah sang istri yang orang Batak, namun beberapa ada juga sang suami yang menikah dengan orang Swiss. Sementara suami-istri yang terdiri dari orang Batak sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari.
Namun demikian, yang namanya orang Batak, tidak pernah lupa akan budaya aslinya, yaitu senang berkumpul dan senang menari serta bernyanyi. Sekalipun sudah puluhan tahun di negeri orang, budaya orang Batak itu tidak bisa lekang, malah semakin ada kepeduliaan akan keinginan bahwa orang Batak haruslah tetap menjaga prinsip “ dalihan natolu “ yang salah satunya adalah manat mardongan sahuta. Ada anggapan bahwa setiap orang Batak yang berdomisili di Swiss adalah dongan sahuta, sehingga dirasa perlu untuk saling bertegur sapa dan berkumpul dalam sebuah acara.
Tema Piknik
Orang Batak di Swiss tidak punya kumpulan seperti punguan marga atau parsahutaon di kota-kota besar di Indonesia. Namun demikian, berkat kepemimpinan yang dituakan seperti pak M.Napitupulu/N br.Simanjuntak, yang sudah lebih dari 33 tahun tinggal di Swiss, maka seluruh orang Batak di negeri ini sangatlah terjaga keharmonisan satu dengan lainnya.
Sudah menjadi tradisi orang Batak di Swiss, bahwa ada dua kegiatan rutin tiap tahun, yang dilakukan dalam rangka memupuk rasa kekeluargaan serta tidak mengesampingkan nilai sukacita yang dihadirkan dari kedua kegiatan rutin tahunan tersebut. Kegiatan pertama dinamakan Piknik Batak,biasanya mengambil waktu pada setiapbulan Juni, bertempat di daerah Zurich. Kegiatan ini lebih menekankan pada tema pikinik, yang melibatkan seluruh keluarga, mulai dari anak-anak sampai orangtua. Piknik diadakan biasanya di tepi pantai danau Zurich. Acaranya dikemas dari pagi sampai malam. Maklum pada musim panas matahari masih bersinar terang sampai pukul 10 malam. Maka tak terasa kalau sudah malam.
Kegiatan kedua adalah pesta Batak. Biasanya dilakukan setiap September, masih suasana musim panas. Acaranya hampir sama dengan Piknik Batak. Bedanya Pesta Batak tuan rumahnya bergiliran secara suka rela. Bernyanyi, menari, manortor, makan siang bersama, sajian makanan khas Batak, markombur dan sebagainya, sudah merupakan cirri dan tradisi kedua acara ini.
Begitulah kominitas orang Batak menikmati hidupnya di negeri orang, di Swiss.Disamping mereka dapat terus mempertahankan eksistensi, mereka juga tidak pernah lupa akan tradisi yang turun-temurun, sebagaimana yang tetap dipelihara oleh seluruh Bangso Batak di seluruh penjuru dunia ini. Horas Bangso Batak di seluruh dunia !
* penulis menetap di Swiss, bekerja sebagai manajer di perusahaan peralatan listrik
* tulisan ini telah dimuat sebelumnya di majalah Tapian edisi April 2009.
Kutukan Nenek,Muncullah Lau Kawar di Karo
Didongengkan kembali oleh : Sahala Napitupulu.
Tanah Karo pada zaman dahulu kala. Tersebutlah sebuah kampung yang subur dan permai, desa Kawar namanya. Di desa itu terdapat sebuah mata air yang dimanfaatkan penduduk sebagai sumber air minum. Penduduknya hidup dari bertani. Dan jika mereka habis panen, biasanya akan digelar Gondang Guro-Guro Aron, musik khas masyarakat Karo. Dalam acara itu penduduk akan bersuka cita, berdendang dan manortor. Remaja lelaki dan perempuan akan manortor berpasang-pasangan. Begitulah cara penduduk Kawar mengadakan selamatan atas panen yang mereka nikmati.
Pada suatu waktu, Desa Kawar mengalami panen raya. Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Hasil panen meningkat dua kali lipat. Lumbung-lumbung penduduk penuh semua dengan padi. Bahkan banyak warga harus membuat lumbung-lumbung baru, supaya dapat memuat hasil panen yang melimpah. Untuk mensyukuri atas panen raya ini, warga desa Kawar telah bersepakat untuk mengadakan pesta “ Mejuah-juah “ satu hari penuh, diisi dengan upacara adat dan makan besar secara bersama.
Hari pesta itu pun tiba. Desa Kawar tampak semarak. Pagi-pagi warga telah datang ke tempat pesta digelar. Di sebuah lapangan terbuka, disitulah mereka berkumpul. Mereka memakai pakaian aneka warna nan indah. Sebagian kaum perempuan tampak sibuk memasak. Memasak berbagai macam masakan untuk disantap bersama dalam upacara tersebut.
Di sebuah rumah didekat mata air itu, tinggallah seorang nenek tua renta. Dia menderita sakit, lumpuh. Ia baru saja melepas kepergian anak, menantu dan cucunya untuk hadir dalam upacara itu. Ia terbaring dalam kesendiriannya. Rasa sepi menyergapnya.
Beberapa saat berlalu. Kemudian, sayup-sayup ia mulai mendengar suara Gondang Guro-guro Aron telah ditabuh. Angin juga membawa suara derai tawa gembira ke telinganya. Ia menebarkan pandangannya ke luar melalui jendela kamarnya. Ia tersenyum tiap kali mendengar keriuhan pesta itu. Dan teringatlah ia ketika dahulu masih remaja. Lelaki dan perempuan manortor berpasangan-pasangan dan ia ada diantara mereka. Banyak pemuda berlomba ingin berlama-lama manortor dengannya. Maklum, dahulu ia tidak hanya pandai manortor. Ia juga terkenal sebagai kembang desa Kawar. Alangkah bahagianya saat-saat seperti itu. Beberapa saat berlalu. Suara keriuhan pesta makin terdengar jelas.
“ Ya, Tuhan, betapa aku ingin berada di pesta itu. Aku ingin manortor sepuas hatiku. Tapi, usia tua dan kelumpuhan ini membuatku tak berdaya, “ jeritnya dalam hati. Beberapa saat kemudian airmatanya pun turun berderai. Airmata kerinduan, kesepian dan penyesalan akan nasib. Kadang ia merasa seperti orang tak berguna.
Tiba saatnya makan siang. Musik Gondang dihentikan sementara. Semua warga desa Kawar berkumpul untuk menyantap hidangan makan siang yang telah tersedia. Dengan lahap mereka menyantapnya. Panggang babi dan gulai sapi tersaji bersama nasi yang masih mengepul. Semua bergembira. Sesekali terdengar tawa riuh mereka karena ada saja yang membuat lelucon. Kegembiraan itu menyebabkan mereka lupa pada sang nenek yang terbaring dirumahnya dalam keadaan kelaparan. Anak, menantu dan cucunya mjuga lupa padanya. Waktu terus berlalu. Sejak tadi si nenek telah mengharapkan kiriman nasi dan lauknya, yang akan dibawa oleh cucunya si Tongat. Tapi, tunggu punya tunggu, tak ada seorang pun yang datang.
Sakit perutnya makin melilit karena didera kelaparan yang sangat. Ia tak kuat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada padanya, ia mencoba turun dari ranjangnya. Tapi, ia kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh. Ia tersungkur kelantai tanah, karena tak kuat menahan beban tubuhnya sendiri. Ia mencoba merangkak. Perlahan dan tertatih ia merangkak menuju ke dapur untuk melihat kalau-kalau ada yang bisa ia makan. Tapi tak ada apa-apa. Rupanya, anak dan menantunya hari itu sengaja tidak memasak. Pikir mereka, ditempat pesta akan tersedia banyak makanan, sehingga nanti mereka tinggal mengambilnya dan mengirimkan makanan itu melalui cucunya si Tongat.
Beberapa saat kemudian. Tubuh si nenek tampak gemetar menahan kelaparan. Di dapur ia tak mendapatkan apa-apa. Ia sangat kecewa. Dengan beringsut dan tertatih-tatih ia kembali ke pembaringannya. Nafasnya tersenggal menahan rasa kecewa dan kemarahan. Ia merasa seperti disia-siakan. Kemudian airmatanya berderai meratapi nasibnya dan penderitaannya.
“ Oh Tuhan, aku sudah tak kuat menahan rasa lapar ini, “ tangisnya sembilu “ Mereka sungguh tega membiarkan aku menderita seperti ini, “ ujanya seperti berbisk mengungkapkan rasa kecewanya.
Sementara itu, pesta makan sore dalam upacara itu baru saja usai. Sang anak tiba-tiba teringat pada ibunya di rumah. Ia segera menghampiri istrinya.
“ Istriku, apakah kamu tadi sudah mengantar makanan untuk ibu ? “ tanyanya lekas.
“ Belum, suamiku, “ jawab sang istri.
“ Ibu sudah pasti kelaparan. Segeralah kau bungkus makanannya, lalu suruhlah si Tongat, anak kita, untuk menghantarkannya ke rumah, “ perintyah sang suami.
“ Baiklah, “ jawab sang istri. Wanita itupun bersegera membungkus makanannya, lalu memanggil anaknya. “ Tongat, antarkan makanan ini kepada nenekmu di rumah, “ perintahnya pada sang anak.
“ Baik, bu, “ jawab Tongat sambil menerima bungkusan makanan. Ia pun berlari membawa makanan itu pulang. Beberapa saat berlalu. Sesampainya di rumah, Tongat segera menyerahkan bungkusan itu kepada neneknya.
“ Ini makanannya, Nek. Tapi nenek makanlah sendiri karena Tongat harus kembali ke tempat upacara, “ ujarnya bergegas kembali. Dengan sisa tenaga yang ada padanya, sang nenek membuka bungkusan makanan tersebut.
Ia telah membayangkan akan menikmati makanan yang lezat. Namun, ketika bungkuan tersebut dia buka, betapa dia kecewa, karena mendapati isinya hanyalah sisa-sisa makanan. Beberapa tulang sapi dan kambing yang hampir sudah habis dagingnya, dan sedikit sisa nasi. Itulah yang dia dapatkan.
Ia seperti tak percaya apa yang dia lihat. “ Ya, Tuhan, apa mereka sudah menganggapku seperti binatang ? Mereka hanya memberiku sisa-sisa makanan dan tulang-tulang. Mereka sekarang telah terang-terangan menghinaku. Sungguh, tak dapat kumaafkan penghinaan mereka, “ tangis si nenek meledak dalam kemarahan yang sangat.
Sebetulnya, bungkusan tersebut berisi lauk daging yang masih utuh, termasuk didalamnya babi panggang satu porsi dan nasi yang cukup untuk si nenek. Tetapi, ditengah jalan, si Tongat telah memakan sebagian isi bungkusan itu, sehingga yang tersisa hanyalah tulang-tulang.
Tiada si nenek mengetahui kejadian yan sebenarnya. Ia mengira anak dan menantunya telah tega melakukan hal itu padanya. Dengan perlakuan seperti itu, hatinya terasa hancur. Air matanya terus-menerus mengalir menyesali keadaan yang telah terjadi. Maka ia pun kemudian berdoa kepada penguasa alam untuk mengutuk anak dan menantunya itu.
“ Mereka telah berbuat durhaka kepadaku. Sekarang aku menyumpahi mereka, “ ujarnya memohon kepada penguasa alam semesta. Beberepa saat berlalu. Tiba-tiba langit tampak mendung. Guntur dan kilat tampak bertalu-talu memecah langit. Bersamaan turunnya hujan lebat, desa Kawar digoncang oleh gempa bumi.
Seluruh penduduk yang tadi sangat bersuka cita, seketika menjadi panik. Wajah-wajah ketakutan tampak dimana-mana. Jerit tangis terdengar dimana-mana. Namun, mereka tak bisa menghindar dari keganasan alam yang dahsyat itu. Dalam sekejap, desa Kawar yang subur dan makmur tenggelam oleh karena hujan deras yang tiada henti selama berhari-hari. Beberapa hari kemudian, desa itu telah beruba menjadi sebuah kawah besar yang dipenuhi genangan air. Demikianlah oleh masyarakat Karo, kawah itu diberi nama Lau Kawar. Danau yang terletak sekitar 80 km dari Medan.
* ceria ini juga telah dimuat di majalah TAPIAN, edisi April 2009.
Minggu, 01 Maret 2009
Tuak dari Ratapan si Beru Sibou
Didongengkan kembali oleh Sahala Napitupulu'
Tuak berasal dari pohon enau. Pohon itu sering juga disebut si Bagot. Dalam bahasa Indonesia dia dikenal sebagai pohon sementara mereka yang berbahasa Inggris menyebutnya sugar palm. Tuak bagi orang Batak sama kedudukan sosial dan budayanya dengan sake bagi orang Jepang. Atau barangkali mirip jamu bagi orang Jawa.
Tuak didorguk atau ditenggak bukan saja di lapo-lapo. Sejak dahulu kala dia sudah menjadi bagian dari budaya Batak. Pada upacara manuan ompu-ompu, misalnya, tuak sering digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak atau kuburan orangtua yang meninggalkan cucu. Bersama siraman tuak itu teriring harapan keturunan almarhum berumur panjang dan hidup makmur. Sementara dalam upacara manulangi, yaitu memberi makan kepada ompung atau orang tua, tuak juga tak ketinggalan ikut disajikan.
Dalam banyak hal, tuak bisa memberi orang kegembiraan. Lihat saja di lapo-lapo, orang-orang Batak berlisoi-lisoi dengan manorguk tuak. Mereka bernyanyi. Mereka tertawa. Tetapi, di balik kegembiraan itu ada air mata. Menurut legenda, tuak itu berasal dari air mata, tangisan dan ratapan seorang wanita. Nama wanita itu si Beru Sibou. Dialah yang menjelma menjadi pohon enau. Beginilah ceritanya.
Dahulu kala di sebuah desa, di belahan Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami istri dengan dua orang anak mereka yang masih kecil. Yang pertama, anak lelaki bernama si Tare Iluh, sedangkan yang kedua, anak perempuan, bernama si Beru Sibou. Keluarga ini berbahagia pada mulanya. Tapi, tak berlangsung lama. Suatu hari, begitulah konon, oleh karena serangan penyakit, sang suami meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian disusul pula oleh sang istri. Sehingga si Tare dan si Beru, pada saat masih kecil harus kehilangan kedua orangtuanya. Beruntung, mereka punya bibi yang baik hati. Dialah sebagai orangtua pengganti dan merawat mereka dengan kasih sayang.
Tahun demi tahun berlalu. Si Tare kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda, sedangkan si Beru Sibou tumbuh menjadi seorang gadis. Sebagai seorang pemuda yang sudah berpikiran dewasa, si Tare tak ingin selamanya menjadi beban bagi bibinya. Karenanya, ia ingin pergi merantau. Dia harus mencari uang. Ia ingin mengubah nasib mereka menjadi lebih baik.
Demikianlah, dalam suatu kesempatan, niat itu pun ia sampaikan pada adiknya, si Beru, orang yang paling ia sayangi.
“Begini Adikku. Abang kan sekarang sudah dewasa. Abang ingin mencari uang yang banyak, sehingga bibi tidak usah lagi bekerja keras mencari nafkah untuk kita. Karena itu, Abang akan segera pergi merantau,” kata si Tare pada adiknya. Mendengar itu si Beru tampak sangat terkejut. Lama dia terdiam. Ditatapnya abangnya berlama-lama, seperti tak percaya pada apa yang telah dia dengar.
“Tapi, bagaimana dengan Bibi, bagaimana dengan saya?” tanya sang adik dengan gundah. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia merasa takut kehilangan abangnya, si Tare Iluh, yang selama ini menjaganya dengan penuh kasih sayang. Dialah saudara satu-satunya.
“Adik harus tinggal untuk menemani bibi. Nanti, kalau Abang sudah berhasil mendapat uang yang banyak, Abang pasti akan segera kembali,” kata si Tare membujuk. Si Beru masih tampak keberatan.
“Percayalah Adikku, Abang pasti akan kembali kepadamu. Bibi pun sudah merestui kepergian Abang. Tinggal restumu Adikku yang Abang tunggu,’ ujarnya lagi. Si Beru terpaku. Lama sekali. Akhirnya, dengan perasaan berat hati dia pun menganggukkan kepala.
“Baiklah, jika bibi sudah merestui, Adik pun tak bisa menahan Abang. Adik akan merestu kepergian Abang. Namun, Abang jangan lupa kembali bila telah berhasil, secepatnya,” jawab si Beru yang kelihatan berusaha menahan perasaan sesak di dadanya. Tapi, tak tahan, tangisnya pun pecah. Si Tare lalu merangkulnya. Mereka bertangis-tangisan.
Demikianlah, keesokan harinya si Tare Iluh terlihat berjalan keluar dari desanya saat matahari baru terbit. Tujuannya: merantau ke negeri orang. Dia berjalan penuh semangat untuk mencari uang yang banyak. Sementara sepeninggal abangnya, si Beru Sibou tampak dirundung kesedihan dan kerinduan. Semakin hari kesedihan dan kerinduannya semakin mendalam.
Nanti punya nanti, rindu punya rindu, sudah beberapa tahun tak ada juga kabar berita mengenai abangnya. Ia tak tahu apa yang terjadi. Namun, dia punya firasat buruk. Sesungguhnya yang terjadi pada si Tare Iluh adalah sesuatu yang tak pernah dimimpikan sang adik. Di perantauan, dia bukannya mencari pekerjaan yang baik. Dia malah mencari tempat perjudian. Dia beranggapan dengan menang judi dia akan dapat uang banyak, tanpa harus bekerja keras. Maka berjudilah dia. Dan pertama kali dia mempertaruhkan nasib, dia memang menang. Ia senang. Dan ia beranggapan akan terus bisa menang. Ternyata, ia terus-menerus mengalami kekalahan. Uang yang sudah sempat terkumpul akhirnya habis.
Karena berharap bisa menang kembali dalam perjudian, dia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk dipertaruhkannya di meja judi. Apa daya, dia kalah. Dia meminjam uang lebih besar lagi. Berjudi lagi. Dan kalah lagi. Tak terasa utangnya sudah sedemikian besar dan dia tak dapat membayarnya. Akibatnya, penduduk setempat marah. Mereka memasungnya. Dia ditawan dan diperlakukan seperti binatang.
Suatu hari, kabar buruk yang menimpa kakaknya itu terdengar juga oleh si Beru Sibou dan bibinya. Mereka sangat terpukul mendengarnya. Berita itu juga yang membuat bibinya jatuh sakit. Semakin hari semakin parah. Dan, beberapa minggu kemudian bibinya meninggal. Si Beru Sibou meratapi nasibnya yang malang. Kini, dia hanya sebatang kara. Lalu diputuskannyalah pergi untuk mencari si Tare Iluh.
Dengan bekal secukupnya, dia pun berangkat mencari abangnya, sekalipun dia tak tahu di negeri mana sang abang berada. Berhari-hari dia berjalan kaki, keluar masuk hutan belantara, melewati lembah dan menyeberangi sungai. Sampai suatu ketika dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang kakek tua. Dia menyapa, memperkenalkan diri, dan menguraikan masalahnya, serta bertanya: ”Kek, apakah Kakek pernah bertemu dengan bang saya?”
“Siapa nama abangmu,” sahut si Kakek bersimpati.
“Tare, si Tare Iluh, Kek.”
“Oh, sepertinya Kakek pernah mendengar nama itu. Kalau tak salah, dia adalah pemuda yang gemar berjudi dan sekarang sedang dipasung penduduk setempat,” jawab si Kakek dengan nada prihatin.
“Ya, begitulah kabar yang saya dengar, Kek. Tapi, apakah Kakek tahu di negeri mana dia?” si Beru menimpali.
“Sungguh Kakek tidak tahu. Tapi, kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“ Apa saran Kakek itu?” tanya si Beru penuh minat.
“Panjatlah sebatang pohon yang tinggi, naiklah sampai di puncaknya. Kemudian bersenandunglah sambil memanggil-manggil nama abangmu. Barangkali penduduk negeri itu, atau abangmu, akan mendengarnya. Angin akan membawa suaramu kepada mereka,” kata sang Kakek sebelum dia berlalu.
Tanpa berlama-lama, si Beru segera mencari pohon yang paling tinggi. Dia memanjatnya hingga ke puncaknya. Di situ, si Beru segera bernyanyi, bersenandung memanggil nama Tare Iluh sambil menangis. Dia juga memohon supaya penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi membebaskannya. Sudah berjam-jam dia bersenandung dan menangis di puncak pohon itu, namun tak seorang pun mendengarnya. Si Beru terus bersenandung dan meratap sampai suaranya parau. Dia bernyanyi sampai kehabisan tenaga dan putus asa. Akhirnya, dia lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada penguasa jagad raya.
“Ini aku si Beru Sibou bersedia melunasi semua hutang abangku. Aku merelakan air mataku. Aku merelakan tubuhku ini untuk dimanfaatkan penduduk yang memasung abangku. Akulah ganti untuk kebebasannya,” ucap si Beru dengan syahdu, bersunguh-sungguh.
Tak lama setelah permohonannya itu dia ucapkan, datanglah angin bertiup kencang. Langit segera mendung. Halilintar berpindar dan menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou menjelma menjadi sebatang pohon enau. Air matanya yang terus mengalir itu lalu menjadi tuak. Minuman yang memberi penduduk negeri itu kegembiraan, terutama ketika mereka meminumnya sambil bersenandung.
Tentang nasib si Tare Iluh, di dalam legenda dikisahkan, setelah dibebaskan oleh penduduk negeri itu, dia mencoba mengetuk nasib yang lain, merantau ke lain negeri. ***
* cerita ini juga telah dimuat di majalah TAPIAN, edisi Maret 2009
Selasa, 10 Februari 2009
Dari Tuba Jadilah Danau Toba
Didongengkan kembali oleh : Sahala Napitupulu
Di jaman na robi, tersebutlah dalam turi-turian orang-orang tua Batak kisah tentang terjadinya Danau Toba. Adalah seorang dewi cantik yang tinggal di banua ginjang (dunia atas) yang melanggar adat para dewa, sehingga dia mendapat hukuman dari Mula Jadi Na Bolon, sang penciptanya. Mula Jadi Na Bolon mengubah dewi yang cantik itu menjadi seekor ikan, dan melemparkannya ke banua tonga (dunia tengah) tempat tinggalnya manusia.
Di jaman na robi, tersebutlah dalam turi-turian orang-orang tua Batak kisah tentang terjadinya Danau Toba. Adalah seorang dewi cantik yang tinggal di banua ginjang (dunia atas) yang melanggar adat para dewa, sehingga dia mendapat hukuman dari Mula Jadi Na Bolon, sang penciptanya. Mula Jadi Na Bolon mengubah dewi yang cantik itu menjadi seekor ikan, dan melemparkannya ke banua tonga (dunia tengah) tempat tinggalnya manusia.
Di bagian utara Sumatera, hiduplah seorang pemuda. Mata pencahariannya bertani dan mendurung ikan. Dia kesepian. Kedua orangtuanya telah lama meninggal. Tubuhnya kekar. Wajah tampan. Tetapi, ditengah kesepiannya yang teramat dalam, dia sering memanjatkan doa memohon supaya Mula Jadi Na Bolon memberinya seorang istri sebagai pendamping hidupnya. Mula Jadi Na Bolon kasihan mendengarkan doanya. Suatu malam, dalam mimpinya dia mendapat isyarat dari Mula Jadi Na Bolon bahwa dia akan mendapatkan seorang istri yang cantik.
Sudah berhari-hari mimpinya itu berlalu. Seperti biasa, sang pemuda pun pergi mendurung ikan. Namun, aneh, hari itu, dari pagi hingga sore, tak seekor ikan pun berhasil dia dapatkan. Dia bersiap-siap untuk pulang. Tiba-tiba matanya melihat seekor ikan besar berwarna kuning keemasan melntas di air sungai. Segera dia turun kembali ke dalam air dan menangkap ikan tersebut dengan jalanya. Ikan itu segera dia bawa pulang.
Di rumahnya, sang pemuda berlama-lama menatap ikan tersebut. Hatinya dilanda kebimbangan. Dia ingin memasak ikan itu sebagai lauknya malam itu karena dia sudah sangat lapar. Tapi, karena warna ikan itu sangat indah dipandang mata, maka ia merasa tak sampai hati untuk memasaknya. Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengurungkan niat untuk memasak ikan tersebut dean memasukkannya kedalam wadah besar untuk dipelihara. Dia pun berangkat tidur dengan menahan rasa lapar.
Pagi hari, dalam pesona keindahan saat matahari baru terbit, dia sudah berada di ladangnya. Dia menanam padi dan menyiram sayur-sayuran. Maka, seperti biasa, apabila tengah hari, dia pun pulang ke rumah untuk makan siang. Setiba di rumah, betapa dia terkejut, karena makanan lengkap dengan lauknya sudah tersedia. Dia melihat kesekeliling, tapi seorang pun tak. Dia melongok ke dalam wadah. Ikan itu pun masih berada dalam tempatnya. Dia tak habis pikir. Dan dalam sekejap saja makanan tadi habis dilahanya karena lapar.
Demikianlah berulang-ulang terjadi setiap hari. Manakala dia pulang tengah hari dari ladangnya, makanan telah tersedia. Tetapi, siapakah gerangan yang telah memasak makanan itu ? Dia tak pernah tahu. Didorong oleh rasa penasaran, suatu pagi sang pemuda pun keluar dari rumah. Dia berjalan seolah-olah seperti biasa menuju ke ladang. Namun, ditengah jalan, dia berbelok kembali ke rumah dan bersembunyi di balik rimbun pohon. Dari situ dia dapat melihat keadaan rumahnya.
Lama sang pemuda mengamati, namun tak ada satu pun tanda-tanda ada orang didalam rumahnya. Dia terus menunggu dan mengamati. Dia mulai didera rasa bosan. Beberapa lama kemudian, tiba-tba tampak asap mengepul keluar dari dapur rumahnya. Dia cepat-cepat keluar dari persembunyiannya. Dia melangkah memasuki rumah. Tapi, dia hampir tak percaya melihat didalam rumahnya ada seorang wanita cantik.
“ Siapakah kamu sesungguhnya. Dan apa yang sedang kamu lakukan ? “ katanya setelah menangkap wanita tersebut. Wanita itu terkejut tapi diam seribu bahasa. Sang pemuda melihat kedalam wadah tapi ikannya tak ada disitu.
“ Kamu apakan ikan saya ? Mana ikan yang ada dalam wadah ini ? “ tanyanya. Beberapa saat, dia melihat wanita itu mulai menangis. Sang pemuda semakin heran.
“ Sayalah ikan itu, “ jawab wanita itu kemudian. Lalu, dia menceritakan asal-usulnya dan kutukan yang dia terima karena melangar adat para dewa di banua ginjang. Sang pemuda terdiam. Kini, dia mengerti bahwa ikan itu menjadi wanita cantik karena sudah terbebas dari kutukan.
“ Sekarang, maukah kamu menjadi istriku ? “ tanyanya beberapa saat kemudian. Wanita itu tetap diam membisu.
“ Mengapa engkau diam ? Jadilah engkau istriku, “ desak si pemuda lagi.
“ Baiklah jika itu kehendakmu. Tetapi, dengan satu syarat,” pintanya.
“ Apakah syarat yang engkau pinta ? “
“ Kelak, jika kita sudah memliki anak, maka jangan sekalipun engkau pernah berkata kepada anak kita bahwa dia berasal dari ikan “ ujarnya kepada sang pemuda. Pemuda itupun bersumpah akan memegang janjinya. Mereka pun menikah.
Bertahun-tahun rumah tangga mereka tampak bahagia. Terlebih-lebih setelah mereka memiliki seorang bocah lelaki. Namun, sayangnya, anak ini semakin besar semakin menunjukkan kenakalan. Kerjanya banyak bermain dan pulang ke rumah ketika perutnya sudah lapar. Kedua orangtuanya sering menasehati, tetapi tak pernah dia perhatikan.
Hingga pada suatu hari, demikian menurut turi-turian dalam homepage nainggolan.net, ibunya menyuruh anak itu mengantarkan makanan untuk ayahnya di ladang. Tapi, apa yang dilakukannya ? Anak ini menyembunyikan makanan tadi dan pergi bermain bersama teman-temannya. Puas bermain, anak ini pun merasa lapar. Dia mengambil makanan yang dia sembunyikan tadi. Dan melahap nasi bungkus untuk ayahnya itu. Setelah itu baru dia pergi ke ladang dan menyerahkan bungkusan kosong kepada ayahnya. Ketika sang ayah membuka bungkusan titipan istrinya itu, betapa dia terkejut karena hanya menemukan tulang ikan di dalam bungkusan.
“ Anakku, mengapa hanya tulang ikan isi bungkusan ini ? “
“ Tadi habis bermain bersama kawan-kawan, perutku terasa lapar Among (bapak), jadi aku memakannya, “ jawabnya ringan. Mendengar ucapan anaknya itu, emosi sang ayah mendidih. Dari pagi dia merasa lapar sehabis kerja keras mengolah ladang. Dan siang ini dia hanya mendapat tulang ikan saja. Maka, dengan nada marah, sang ayah pun berkata kepada anaknya “ Betulah kamu memang anak ikan ?!” bentaknya keras terhadap anaknya itu. Sang anak terkejut dan menangis. Segera dia berlari pulang ke rumah menemui ibunya.
“ Inong (ibu), tadi kata among bahwa aku ini anak ikan, betulkah ? “ tanyanya terisak. Ibunya terkejut. Sekejap air matanya pun mengalir menyesali perbuatan suaminya.
“ Suamiku, engkau telah melanggar sumpahmu, “ katanya sedih.
Seketika langit menjadi gelap. Petir dan angin gemuruh menderu-deru. Hujan dan badai pun sambar menyambar. Sang ibu dan anak itu tiba-tiba raib. Tapi, dari bekas telapak kaki mereka kemudian muncul mata air. Airnya keluar dengan sangat keras dan lama kelamaan membentuk sebuah danau. Pada mulanya, orang menyebutnya Danau Tuba (artinya danau tak tahu berbelas kasih). Tetapi, karena lidah orang Batak susah menyebut Tuba, maka Tuba berubah menjadi Toba. Dan, jadilah Danau Toba.
* Cerita legenda ini telah dimuat sebelumnya di majalah TAPIAN, edisi Juli 2008.
Rabu, 17 Desember 2008
Viky Sianipar, Pemuja Batak setengah mati !
By Sahala Napitupulu.
Perkenalkan, namaku Viky Sianipar. Ya, Sianipar ! Aku memang Batak. Tak terbayangkan sepuluh tahun yang lampau yang punya nama begitu percaya diri untuk memperkenalkan diri seperti itu. Dan dengan bangga pula menyebutkan marganya.
Viky lahir dan dibesarkan di perkampungan orang Betawi. Didalam gang sempit dengan rumah kecil-kecil dan saling berdempetan di wilayah Manggarai, Jakarta. Bahasa pengantar sehari-hari yang berlaku di rumahnya adalah bahasa Indonesia. Ibunya orang Sunda, tetapi pandai sekali marhata Batak dalam bahasa Batak. Ayah dan ibunya berbahasa Batak kalau ada hal yang ingin mereka rahasiakan, tak ingin diketahui anak-anak.
Perkenalkan, namaku Viky Sianipar. Ya, Sianipar ! Aku memang Batak. Tak terbayangkan sepuluh tahun yang lampau yang punya nama begitu percaya diri untuk memperkenalkan diri seperti itu. Dan dengan bangga pula menyebutkan marganya.
Viky lahir dan dibesarkan di perkampungan orang Betawi. Didalam gang sempit dengan rumah kecil-kecil dan saling berdempetan di wilayah Manggarai, Jakarta. Bahasa pengantar sehari-hari yang berlaku di rumahnya adalah bahasa Indonesia. Ibunya orang Sunda, tetapi pandai sekali marhata Batak dalam bahasa Batak. Ayah dan ibunya berbahasa Batak kalau ada hal yang ingin mereka rahasiakan, tak ingin diketahui anak-anak.
“ Karena keterbatasan dana orangtua pada waktu itu, aku disekolahkan di satu sekolah dasar dekat rumah, yang mayoritas murid-muridnya penduduk sekitar. Tidak ada orang Bataknya sama sekali, “ kata Viky. Teman-temannya sering mengejek Viky kecil sebagai orang Batak dengan konotasi negatif. Awalnya dia cuek saja. Tapi, lama-lama dia jengkel juga, namun tak tahu harus berbuat apa. Sementara pengetahuannya tentang Batak amat terbatas.
“ Yang kutahu tentang Batak cuma pesta Bona Taon yang lama dan membosankan. Cara bicara saudara-saudara dari tanah Batak yang keras dan kasar. Pesta adat perkawinan yang penataan makanannya jorok, membuatku mual setiap kali menghadirinya. Jadi apa yang dapat kubanggakan dari Batak untuk bikin teman-temanku iri ? “ tanya musikus muda itu, dan dia jawab sendiri, “ Enggak ada..!” Karena itu, dia sempat membenci takdirnya terlahir sebagai Batak, sehingga masa itu dia sengaja tidak mau mencantumkan marga Sianipar dibelakang namanya.
Viky sejak kecil telah bersentuhan dengan dunia musik. Dia mulai belajar musik klasik tahun 1982 di Yayasan Pendidikan Musik, yang terletak sekitar satu kilo dari rumahnya. Malang, oleh guru-gurunya dia dianggap tidak becus dan kemudian harus drop out.
Waktu itu, baginya belajar musik klasik sangat membosankan. Dia tergila-gila dengan The Beatles, kelompok dari Inggris yang menggoyang dengan musik-musik pop yang merebut hati anak-anak muda di seluruh dunia. Sudah tak cocok dengan musik klasik, Viky juga tidak kepingin mendengar lagu-lagu Indonesia. Apalagi musik nenek moyangnya, Batak. Dia penggemar fanatik The Beatles, yang lain seakan tiada. “ Kayaknya haram dengar musik yang lain kecuali The Beatles, “ katanya mengenang.
“ Enggak tahu kenapa, aku enggak senang lagu Indonesia. Buat aku kampungan, gitu lho. Apalagi lagu-lagu Batak. Makanya, artis-artis Indonesia tahun 90-an ke belakang banyak yang tidak aku kenal, “ sambungnya pula. Selain The Beatles, dia juga kesengsem pada kelompok musik Queen, Police, Duran Duran, David Foster, Toto hingga Genesis.
Mencari Roh yang Hilang
Pendidikan formalnya dia tempuh di SD Budi Asih tahun 1988. Melanjut ke SMP St.Theresia, selesai tahun 1991. Lulus Sekolah Menengah Atas St.Theresia tahun 1995, setelah satu kali tinggal kelas. Setelah lulus sekolah menengah atas, Viky masih malu mengaku Batak. Pernah dia mengeker seorang cewek, tapi begitu tahu cewek itu boru Batak, dia pasang kuda-kuda. Langsung mundur. Viky adalah anak Batak yang sedang terlepas dari akarnya.
Dalam perjalanan waktu, sebagai seorang pengusaha, orangtuanya sukses. Kesempatan pun terbuka buat Viky untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Dia studi bahasa Inggris di Berkeley, sebuah kota kecil di Amerika Serikat. Sambil belajar bahasa, dia kursus memetik gitar elektrik pada George Cole, salah seorang murid terpenting Joe Satriani, gitaris tersohor Amerika keturunan Italia.
Titik balik jalan hidup Viky jatuh di tahun 2001. Dari seorang pembenci dia berbalik menjadi pemuja setengah mati. Ceritanya, waktu itu MS Production perusahaan rekaman milik ayahnya, dimana Viky duduk sebagai musik director-nya, menggelar konser musik “ Save Lake Toba “, bekerja sama dengan Yayasan Perhimpunan Pecinta Danau Toba. Konsep konser ini menyuguhkan lagu-lagu Batak yang bisa merangkul kaum muda.
Sejak itu, kecintaannya terhadap Batak mulai tumbuh, meski dia merasa belum menemukan “ roh “ kebatakannya. Baru pada bulan Mei 2007, Viky merasa “ dilahirkan kembali sebagai putera Batak “ ketika dia berkunjung ke Sianjur Mula-Mula dan naik ke Pusuk Buhit, mendaki bukit sakral itu seperti mau mencari roh yang hilang. Di dalam legenda, Pusuk Buhit dilukiskan sebagai singgasana si Raja Batak diturunkan dari langit oleh Ompu Mula Jadi na Bolon ( Allah Pencipta Alam Semesta ).
Perjalanann ziarah ke Pusuk Buhit itu agaknya dirasakannya sentimental, namun benar-benar merubah Viky dalam melihat Batak dan budayanya. Dia menjadi sangat “ bangga terlahir sebagai orang Batak. “ Dengan teguh dia katakana : “ Ternyata Batak itu merupakan salah satu suku bangsa yang mempunyai peradaban paling tinggi di dunia. Kekayaan peradaban itu bisa kita lihat dari seni budayanya. Bangsa yang memiliki peradaban tinggi tidak hanya memikirkan soal perut saja, tapi juga seni, filosofi dan ilmu-ilmu lainnya. Dan itulah Batak ! “ katanya meyakinkan.
Agama Masalah Pribadi
Di Batak, katanya, orang bisa menyaksikan seni ukir gorga, seni ulos. Dan jangan lupa, Batak mempunyai aksara sendiri. “ Tetapi, yang luar biasa lagi buat saya adalah sistem kekerabatan Dalihan na Tolu. Nenek moyang kita dahulu sudah bisa membuat rumusan bagaimana harus bersikap dari yang satu kepada yang lain dengan mengacu pada Dalihan na Tolu, “ Viky menguraikan.
Menunjukkan kebijakannya, Viky mengemukakan bahwa orang Batak dalam lingkup modernisasi seharusnya tidak kehilangan jati diri. Namun, kenyataan, katanya, banyak orang Batak tercerabut dari akar budaya. Dan sebagian yang lain keliru menafsirkan modernisasi.
“ Mereka menganggap modernisasi itu adalah westernisasi. Itu yang pertama. Yang kedua, mereka melihat budaya Batak itu hanya sebatas pesta adat. Dalihan na Tolu itu seakan-akan hanya berlaku disitu, di mana letak Hula-Hula, Boru dan dongan Tubu baru terlihat disitu. Sehingga banyak anak muda sekarang tidak tertarik untuk belajar budaya Batak, karena yang dinformasikan kepada mereka budaya Batak itu ya sebatas itu saja, “ katanya menyayangkan.
Menurut Viky, penyumbang terbesar sehingga terjadinya degradasi budaya Batak adalah masuknya agama Kristen maupun Islam. Bukan masuknya para misionaris ke tanah Batak yang menjadi soal, tetapi penerapan agama itu yang terlalu berlebihan, sehingga banyak budaya Batak yang harus hilang, terperangkap ke dalam dogma-dogma agama tersebut. Viky memberi contoh bentuk bangunan gereja yang semua harus sama dengan yang ada di Barat.
“ Tidak boleh ada gorga, pengiring ibadah harus organ, tidak boleh ada taganing, tidak boleh ada sarune dan lain-lain. Kontributor kedua terbesar bagi degradasi budaya Batak adalah imbas budaya Barat. Saya lebih setuju kalau soal beragama itu sebagai masalah pribadi dan tidak disangkut pautkan dengan budaya lokal, “ katanya coba memberikan pandangan yang terdengar agak filosofis.
Viky Sianipar, yang lahir 26 Juli 1976, menikah dengah Deasy Puspitasari tahun 2004. Pernikahan itu menganugerahinya Metasha Inspira Sianipar, 3 ½ tahun dan Mattheuw Putra Sianipar, 2 ½ tahun. Yang berbahagia bukan hanya mereka berdua, tetapi juga ompung kedua anak mereka yang manis itu ; Monang Sianipar dan Elly Rosalina Kusuma boru Harianja. Juga ketiga saudara Viky ; Sahat Sianipar, Bismark Sianipar dan tria sianipar.
* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah budaya Batak, TAPIAN, edisi Juli 2008.
Viky Sianipar, yang lahir 26 Juli 1976, menikah dengah Deasy Puspitasari tahun 2004. Pernikahan itu menganugerahinya Metasha Inspira Sianipar, 3 ½ tahun dan Mattheuw Putra Sianipar, 2 ½ tahun. Yang berbahagia bukan hanya mereka berdua, tetapi juga ompung kedua anak mereka yang manis itu ; Monang Sianipar dan Elly Rosalina Kusuma boru Harianja. Juga ketiga saudara Viky ; Sahat Sianipar, Bismark Sianipar dan tria sianipar.
* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah budaya Batak, TAPIAN, edisi Juli 2008.
Tamara Geraldine Bicara Ulos Batak
By Sahala Napitupulu.
Ada banyak hal menarik keluar dari celotehnya ketika diajak bicara tentang ulos Batak, meskipun kadang dengan gaya yang disampaikannya lewat canda. Itulah Tamara Geraldine, salah satu selebritis Batak kelahiran Jakarta, anak kedua dari pasangan ayah L.M.Tambunan dan ibu Y.boru Sibarani. Wajah cantik dengan senyumannya yang manis dahulu kerap kita temui di beberapa acara stasiun televisi swasta sebagai presenter. Seperti dalam acara sepakbola Liga Calcio di RCTI dan kuis hiburan Go Show di TPI, selain banyak menjadi model dan bintang iklan. Belakangan dia membuat kejutan sebagai penulis dengan menerbitkan kumpulan cerita pendeknya dalam judul lumayan panjang, “ Kamu Sadar Saya Punya Alasan Untuk Selingkuh kan Sayang “ dan buku keduanya tentang biografi penyanyi Yuni Sahara.
Ditemui di rumahnya dalam sebuah wawancara dengan Tapian (20/10), Tamara bertutur tentang seleranya terhadap ulos Batak. “ Saya enggak suka ulos yang terlalu colourfull, yang manik-maniknya terlalu banyak seperti jenis ulos Sadum. Saya suka dengan warna ulos yang redup karena mudah dikombinasikan. Menurut ompung saya, warna budaya Batak ini hanya ada tiga, yaitu merah, hitam dan putih. Saya suka ulos dengan tiga unsur warna itu saja paling dominan. Kalau sudah ada warna ungu dan segala macam warna, saya malas memajangnya, “ ujar Tamara.
Ada banyak hal menarik keluar dari celotehnya ketika diajak bicara tentang ulos Batak, meskipun kadang dengan gaya yang disampaikannya lewat canda. Itulah Tamara Geraldine, salah satu selebritis Batak kelahiran Jakarta, anak kedua dari pasangan ayah L.M.Tambunan dan ibu Y.boru Sibarani. Wajah cantik dengan senyumannya yang manis dahulu kerap kita temui di beberapa acara stasiun televisi swasta sebagai presenter. Seperti dalam acara sepakbola Liga Calcio di RCTI dan kuis hiburan Go Show di TPI, selain banyak menjadi model dan bintang iklan. Belakangan dia membuat kejutan sebagai penulis dengan menerbitkan kumpulan cerita pendeknya dalam judul lumayan panjang, “ Kamu Sadar Saya Punya Alasan Untuk Selingkuh kan Sayang “ dan buku keduanya tentang biografi penyanyi Yuni Sahara.
Ditemui di rumahnya dalam sebuah wawancara dengan Tapian (20/10), Tamara bertutur tentang seleranya terhadap ulos Batak. “ Saya enggak suka ulos yang terlalu colourfull, yang manik-maniknya terlalu banyak seperti jenis ulos Sadum. Saya suka dengan warna ulos yang redup karena mudah dikombinasikan. Menurut ompung saya, warna budaya Batak ini hanya ada tiga, yaitu merah, hitam dan putih. Saya suka ulos dengan tiga unsur warna itu saja paling dominan. Kalau sudah ada warna ungu dan segala macam warna, saya malas memajangnya, “ ujar Tamara.
Di rumahnya dia memajang sejumlah ulos Batak, terutama ulos-ulos yang punya nilai historis dalam hidupnya. Diantara koleksinya ada ulos yang sudah berusia seratus tahun lebih yang dia dapat dari warisan ompungnya. Dia menata ruang rumahnya dengan keseimbangan antara unsue Oriental dan unsur Batak sehubungan dengan suaminya sendiri berasal dari Vietnam.
Tien Thinh Pham, pengusaha asal Vietnam yang telah mempersuntingnya 7 tahun silam, oleh keluarga Tamara telah dirajaon bermarga Nainggolan Parhusip. Perkawinan antar suku bangsa ini oleh keluarga Tamara tidaklah terlalu bermasalah sejauh mereka mau diadati dengan adat Batak Toba.
Tien Thinh Pham, pengusaha asal Vietnam yang telah mempersuntingnya 7 tahun silam, oleh keluarga Tamara telah dirajaon bermarga Nainggolan Parhusip. Perkawinan antar suku bangsa ini oleh keluarga Tamara tidaklah terlalu bermasalah sejauh mereka mau diadati dengan adat Batak Toba.
“ Kalau kalian enggak diadatin, kalau suaminya enggak ada marganya, nanti kalau kalian diundang di pesta-pesta adat, kalian akan bingung mau duduk dimana, di paranak atau di parboru, “ujar Tamara menjelaskan alasan tuntutan keluarganya. Menurut Tamara, suaminya tidaklah terlalu sulit beradaptasi dengan adat budaya Batak, karena di negeri suaminya di Vietnam pun mengenal konsep Dalihan na Tolu seperti di Batak. Boleh jadi benar, karena memang ada teori mengatakan orang Sumatera Utara, khususnya orang Batak, cikal bakalnya datang dari Phunam dan Phunam itu dari Indocina. Dengan dirajaon menjadi Nainggolan Parhusip, kata Tamara lagi, suaminya jadi merasa punya keluarga besar disini terutama karena pertalian Dalihan na Tolu.
“ Cuma suamiku bilang orang Batak ini agak aneh. Orang Batak kalau bicara di pesta-pesta adat maupun acara penghiburan selalu dibuka dengan kata Jadi dan ditutup dengan kata Botima. Selalu begitu, diawali dengan kata Jadi lalu ditutup dengan Botima. Ada apa dengan 2 kata itu ? “ cerita Tamara tentang pengamatan suaminya terhadap gaya bicara orang Batak. Dia dan suami, sejauh waktu memungkinkan, kerap juga menghadiri undangan pesta-pesta Batak, bahkan pernah mangulosi.
“ Tapi itu dia, pernah ketika kami mau memberi ulos kepada mempelai, saya manortor, suami saya malah tari cha-cha, “ kata Tamara sambil tertawa.
Saat ditanya pengalaman paling emosional yang pernah dia alami berhubungan dengan ulos, Tamara menyebut tiga peristiwa. “ Pertama, pada saat menikah, saya dan suami diulosi. Kedua, pada saat anak saya Tjazkayaa Loedwigee Poetry tardidi, kami sekeluarga diulosi. Dan ketiga, pada waktu ompung meninggal, tradisinya kami harus rebutan ulos ompung, “ katanya sambil mengingat-ingat kembali.
“ Hanya saya enggak yakin, apa itu karena ulosnya atau karena momentnya, “ ujarnya menambahkan. Bagi Tamara, ulos Batak itu hanya sebuah identitas etnik saja. Identitas dari mana dia berasal. Tidak lebih. Karena itu dia tidak pernah memberhalakan. Hal ini menyinggung adanya sebagian sikap orang Batak yang sangat mengkultuskan ulos pemberian hula-hula, orangtua, ompung atau tulang.
“ Ompung dan orangtuaku memang paradat, tapi waktu mangulosi kami, mereka selalu bilang ulos ini hanya simbol saja. Tapi tetap kalian berjalan supaya diiringi Tuhan Yesus. Jadi jangan lihat ini sebagai benda yang mengikat atas kuasa yang lain, selain kasih Tuhan itu sendiri, “ kata Tamara menjelaskan sikap yang ditanamkan keluarganya dalam memandang ulos. Karena itu dia tidak pernah mau beli ulos yang dikerjakan dengan perhitungan hari-hari tertentu sehingga terkesan mistik dan berhala. Dia pun tak pernah berburu ulos secara khusus.
Menjawab pertanyaan Tapian tentang filosofi ulos baginya, Tamara merujuk apa yang pernah dia dengar. “ Ompung memetaforkan ulos itu sebagai selimut. Arti selimut, dia bisa kasih kehangatan kalau kita dingin, dia bisa menaungi kita dari hujan. Itu yang aku tahu, “ ujarnya. Dia mengakui tidak banyak mempelajari tentang sejarah dan filosofi ulos. Namun dimatanya ada keunikan orang Batak dalam memakai ulos. Misalnya ketika orang pergi ke tempat duka cita, ulos yang dikenakan berbeda dan berbeda lagi ketika mereka pergi ke tempat pesta.
Tetapi Tamara juga melihat ‘ keanehan’ para wanita Batak dalam berbusana ke pesta adat perkawinan. “ Lihat saja, dimana-mana pesta perkawinan para wanita Batak justru kebanyakan pake kebaya dan Songket Palembang. Datangnya ke pesta adat Batak tapi pakenya Songket Palembang, “ ujar Tamara menyayangkan. Menurut Tamara hal ini disebabkan belum ada perancang busana Batak yang dianggap betul-betul serius dan berhasil dalam menangani ulos sebagai produk fashion. Tamara kemudian membandingkannya dengan kain Batik Jawa.
“ Lihat Batik Jawa. Batik bisa dijadikan baju sehari-hari tapi juga bisa tampil glamour, tentu karena ada perancang busana yang serius mengerjakannya, “ ujar Tamara mengkritisi kalahnya pamor ulos dalam mode dan produk fashion. Demikian Tamara berbagi pandangannya kepada Tapian.
* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah budaya Batak, TAPIAN, edisi perdana November 2007.
Langganan:
Postingan (Atom)