By Sahala Napitupulu Ada banyak hal yang menarik keluar dari celotehnya ketika diajak berbicara tentang ulos Batak, meskipun kadang dengan gaya yang disampaikannya lewat canda. Itulah Tamara Geraldine, salah satu selebritis Batak kelahiran Jakarta, anak kedua dari pasangan ayah L.M.Tambunan dan ibu Y.boru Sibarani. Wajah cantik dengan senyumannya yang manis dahulu kerap kita temui dibeberapa acara stasiun televisi swasta sebagai presenter. Seperti dalam acaa sepakbola Liga Calcio di RCTI dan kuis hiburan Go Show di TPI, selain banyak menjadi model dan bintang iklan. Belakangan dia membuat kejutan sebagai penulis dengan menerbitkan kumpulan cerita pendeknya dalam judul lumayan panjang, “ Kamu Sadar Saya Punya Alasan Untuk Selingkuhkan Sayang “ dan buku keduanya tentang biografi penyanyi Yuni Sahara.
Ditemui dirumahnya dalam sebuah wawancara dengan Tapian (20/10), Tamara bertutur tentang seleranya terhadap ulos Batak. “ Saya enggak suka ulos yang terlalu colourfull, yang manik-maniknya terlalu banyak seperti jenis ulos Sadum. Saya suka dengan warna ulos yang redup karena mudah dikombinasikan. Menurut ompung saya, warna budaya Batak ini hanya ada tiga, yaitu merah, hitam dan putih. Saya suka ulos dengan tiga unsur warna itu saja paling dominan. Kalau sudah ada warna ungu dan segala macam warna, saya malas memajangnya, “ ujar Tamara. Dirumahnya dia memajang sejumlah ulos Batak, terutama ulos-ulos yang punya nilai historis dalam hidupnya. Diantara koleksinya ada ulos yang sudah berusia seratus tahun lebih yang dia dapat dari warisan ompungnya. Dia menata ruang rumahnya dengan keseimbangan antara unsur Oriental dan unsur Batak sehubungan dengann suaminya sendiri berasal dari Vietnam.
Tien Thinh Pham, pengusaha asal Vietnam yang telah mempersuntingnya 7 tahun silam, oleh keluarga Tamara telah dirajaon bermarga Nainggolan Parhusip. Perkawinan antar suku bangsa ini oleh keluraga Tamara tidaklah terlalu bermasalah sejauh mereka mau diadati dengan adat Batak Toba. “ Kalau kalian enggak diadatin, kalau suaminya enggak ada marganya, nanti kalau kalian diundang di pesta-pesta adat, kalian akan bingung mau duduk dimana, di paranak atau di parboru ? “ ujar Tamara menjelaskan alasan tuntutan keluarganya. Menurut Tamara suaminya tidakla terlalu sulit beradaptasi dengan adat budaya Batak, karena di negeri suaminya di Vietnam pun mengenal konsep Dalihan na tolu seperti di Batak. Boleh jadi benar, karena memang ada teori mengatakan orang Sumatera Utara, khususnya orang Batak, cikal bakalnya datang dari Phunam dan Phunam itu dari Indocina. Dengan dirajaon menjadi Nainggolan Parhusip, kata Tamara lagi, suaminya jadi merasa punya keluarga besar disini terutama karena pertalian Dalihan na tolu.
“ Cuma suamiku bilang orang Batak ini agak aneh. Orang Batak kalau bicara di pesta-pesta adat maupun acara penghiburan selalu dibuka dengan kata Jadi dan ditutup dengan kata Botima. Selalu begitu, diawali dengan kata Jadi lalu ditutup denga Botima. Ada apa dengan 2 kata itu ? “ cerita Tamara tentang pengamatan suaminya terhadap gaya bicara orang Batak. Dia dan suami, sejauh waktu memungkinkan, kerap juga menghadiri undangan pesta-pesta Batak, bahkan pernah mangulosi. “ Tapi itu dia, pernah ketika kami mau memberi ulos kepada mempelai, saya manortor, suami saya malah tari Cha Cha, “ kata Tamara sambil tertawa.
Saat ditanya pengalaman paling emosional yang pernah dia alami berhubungan dengan ulos, Tamara menyebut tiga peristiwa. “ Pertama, pada saa menikah, saya dan suami diulosi. Kedua, pada saat anak saya Tjazkaya Loedwige Poetry tardidi, kami sekeluarga diulosi. Dan ketiga, pada waktu ompung meninggal, tradisinya kami harus rebutan ulos ompung, “ katanya sambil mengingat-ingat kembali. “ Hanya saya enggak yakin, apa itu karena ulosnya atau karena momentnya, “ ujarnya menambahkan.
Bagi Tamara, ulos Batak itu hanya sebuah identitas etnik saja. Identitas dari mana dia berasal. Tidak lebih. Karena itu dia tidak pernah memberhalakan. Hal ini menyinggung adanya sebagian sikap orang Batak yang sangat mengkultuskan ulos pemberian hula-hula, orangtua, ompung atau tulang.
“ Ompung dan orangtuaku memang paradat, tapi waktu mengulosi kami, mereka selalu bilang ulos ini hanya simbol saja. Tapi tetap kalian berjalan supaya diiring Tuhan Yesus. Jadi jangan lihat ini sebagai benda yang mengikat atas kuasa yang lain, selain dari kasih Tuhan itu sendiri, “ kata Tamara menjelaskan sikap yang ditanamkan keluarganya dalam memandang ulos. Karena itu dia tak pernah mau membeli ulos yang dikerjakan dengan perhitungan hari-hari tertentu sehingga terkesan mistik dan berhala. Dia pun tak pernah berburu ulos secara khusus.
Menjawab pertanyaan Tapian tentang filosofi ulos baginya, Tamara merujuk apa yang pernah ia dengar. “ Ompung memetaforkan ulos itu sebagai selimut. Arti selimut, dia bisa kasih kehangatan kalau kita dingin, dia bisa menaungi kita dari hujan. Itu yang aku tahu, “ ujarnya. Dia mengakui tidak banyak mempelajari tentang sejarah dan filosofi ulos. Namun dimatanya ada keunikan orang Batak dalam memakai ulos. Misalnya ketika orang pergi ketempat duka cita, ulos yang dikenakan berbeda dan berbeda lagi ketika mereka pergi ketempat pesta.
Tetapi Tamara juga melihat ‘keanehan’ para waknita Batak dalam berbusana ke pesta adat perkawinan. “ Lihat saja dimana-mana pesta perkawinan para wanita Batak justru kebanyakan pake kebaya dan Songket Palembang. Datangnya ke pesta adat Batak tapi pakenya Songket Palembang, “ ujar Tamara menyayangkan. Menurut Tamara hal ini disebabkan belum ada perancang busana Batak yang dia anggap betul-betul serius dan berhasil dalam menangani ulos sebagai produk fashion. Tamara kemudian membandingkannya denga kain Batik Jawa. “ Lihat Batik Jawa. Batik bisa dijadikan baju sehari-hari tapi juga bisa tampil glamour, tentu karena ada perancang busana yang serius mengerjakannya, “ ujar Tamara mengkritisi kalahnya pamor ulos dalam mode dan produk fashion. Demikian Tamara berbagi pandangannya kepada Tapian.
* tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya pada majalah Tapian, edisi November 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar