Riris tak hanya pakar dalam bidangnya. Suaranya enak didengar.
“ Saya ini ahli sastra anak-anak dan banyak menulis untuk anak-anak, di Koran, di majalah dan lain-lain. Curahan hati saya memang untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya masa kanak-kanak. Kita
“ Bagi saya buku itu adalah kehidupan. Jadi bagaimana cara kita bergumul, menghadapi dan memenangkan kehidupan, mau tak mau kita harus masuk kedalam dunia buku, “ katanya ketika menjabarkan arti buku baginya. Namun sayangnya, katanya, tak semua anak-anak
“ Cobalah Anda pergi melihat ke perpustakaan. Buku anak-anak banyak, tapi tidak disentuh dan tidak dibaca. Kertas bukunya masih bagus-bagus, rapi-rapi dan masih mengkilat. Pada hal buku yang terbaca, apalagi sering dibaca, justru akan tampak jadi kumal, lecek dan hampir rusak. Kapan kita bisa melihat anak-anak itu datang berduyun-duyun ke perpustakaan dan melihat mereka bergembira karena tahu bahwa di perpustakaan itu banyak ilmu pengetahuan, “ katanya lebih lanjut. “ Itulah yang membuat saya dan kawan-kawan terpikir untuk membuat suatu perpustakaan yang dekat pada anak-anak dan remaja. Tetapi ,tentunya kami mempertimbangkan anak-anak itu tetap sebagai anak-anak, “ ujar wanita kelahiran Tarutung 24 Pebruari 1950 silam.
Curahan hatinya pada anak-anak
Pustaka Keliling Dan Kotak Kelana :
Menumbuhkan agar minat baca anak dan remaja berkembang, salah satu caranya ialah memberikan akses yang mudah bagi mereka untuk membaca buku. Itulah gagasan awal berdirinya perpustakaan Kelana. Waktu itu tahun 1995. Pada awalnya Nasti Reksodiputro, salah seorang pensiunan dosen UI, bersama Riris Sarumpaet, Grace Wiradisastra dan Olvia Beauthauville sepakat untuk mendirikan sebuah yayasan bernama Pustaka Kelana. Kegiatan yayasan ini untuk menyelenggarakan perpustakaan keliling diseputar
Tahun 1996 Pustaka Kelana diresmikan beroperasi oleh Menteri Pendidikan Nasional, kala itu dijabat oleh Prof.Dr.wardiman Djojonegoro. Kendaraan mobil pertama diperoleh dari sumbangan persatuan alumni Jerman, dan mobil kedua dari Citibank Peka (Peduli dan Berkarya). Sedangkan koleksi buku Pustaka Kelana berasal, selain dari sumbangan beberapa pribadi, beberapa penerbit dan bantuan dari Coca-Cola Foundation
“ Buku-buku Pustaka Kelana memang kita pilih. Saya harus melihat lebih dulu bagaimana moral buku tersebut dan visi apa yang hendak diberikan pada anak yang akan membacanya. Misalnya buku biografi seseorang. Dalam tampilannya bisa saja super lux, tebal dan bagus, tetapi bila saya tahu orang itu koruptor, maka buku itu tak akan masuk ke perpustakaan kami. Atau buku-buku yang bersifat rasialis, pelecehan seksual dan merendahkan martabat manusia, itu juga akan ditolak oleh pustaka Kelana. Kami harus memberi inspirasi positif kepada anak dan remaja melalui apa yang mereka baca, “ jelas Riris. Koleksi pustaka itu kini lebih dari 9000 buku dengan tiga buah mobil Kelana yang menjelajah kampung-kampung dan sekolah-sekolah di
“ Bila mobil pustaka Kelana telah tiba dilokasi, biasanya anak-anak pada riuh dan senang.
“ Jadi pendekatan kami sebetulnya lebih kekeluargaan, tapi punya disiplin pendidikan. Anak-anak anggota pustaka Kelana dididik untuk berpikir kritis, tetapi juga diajar supaya punya keperdulian pada teman-temannya, “ ujar penerima penghargaan Satyalencana Karya Satya 20 tahun dan Dosen Teladan I, Fakultas Sastra UI tahun 1994.
“ Waktu masa-masa banjir dulu dan gempa meluluh lantakkan
Tapi, Kotak Kelana ini juga bisa dipesan. Misalnya disuatu daerah, ada seseorang minta dikirimi Kotak Kelana, maka sipemesan hanya membayar satu kali untuk jumlah buku yang ada didalamnya. Untuk bulan-bulan selanjutnya, buku-buku yang telah habis dibaca, bisa ditukarkan dengan buku lainnya tanpa harus membayar lagi.
Perpustakaan Mobil Kelana dan Layanan Kotak Kelana, kata alumni University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat ini, dalam keseharian dijalankan oleh tiga orang karyawan, dan selebihnya dibantu oleh para relawan. Biaya operasional mereka sekitar 20 juta per bulan. Dana bantuan yang mereka dapat dari sumbangan pribadi maupun kerjasama dengan lembaga atau perusahaan yang memiliki kepeduliaan terhadap anak-anak
Sehari-hari Riris mengajar di Universitas
Bangga Sebagai Perempuan Batak
Riris mengaku bangga terlahir sebagai wanita Batak. Katanya, sifat berterus terang, tegas dan kritis serta peduli pada sesama yang jadi bagian dari integritas dirinya itu, diturunkan dari orangtuanya. Riris, anak kelima dari sembilan bersaudara, lahir dari pasangan Saladin Sarumpaet dan Yulia Hutabarat. Orangtuanya, Saladin Sarumpaet, dahulu dikenal sebagai pendiri Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan pernah menjadi Menteri Pertanian dan Perburuhan dalam masa pemerintahan revolusioner buatan PRRI/Permesta. Menjelang akhir hidupnya, Saladin Sarumpaet pernah mengajar di Sekolah Tinggi Theologia
Pergaulannya dalam lintas budaya dan disiplin ilmu mempertemukannya dengan seorang pria Sunda, Ir.Franciscus Toha, pengajar di Departemen Teknik Sipil, ITB. Mereka saling jatuh cinta dan kemudian menikah pada 8 Desember 1979 di
Menurut suaminya, perempuan Batak itu memiliki karakter kuat dan bertanggung jawab. Dari buah perkawinan mereka, Tuhan telah mengaruniakan pada mereka tiga orang putri yaitu Risa, Astrid dan Thalia Toha. Biduk rumah tangga yang telah mereka dayung selama hampir tiga puluh tahun, hanya dimungkinkan karena adanya saling pengertian antara mereka. “ Makin hari rumah tangga kami makin baik, makin harmonis, seiring dengan umur kami yang semakin tua. Karena apa ? Karena dialah yang paling mengenal diri saya dan sayalah yang paling mengenal pribadi suami saya, “ simpulnya seraya tersenyum bahagia.
* tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah Tapian, edisi September 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar