Rabu, 03 Desember 2008

Riris K.Toha Sarumpaet, Hatinya Untuk Anak Indonesia

By.Sahala Napitupulu

Dia mendedikasikan hidupnya untuk membangun masa depan anak-anak Indonesia. Dia sadar, masa kanak-kanak adalah saat paling penting untuk menciptakan masa depan Indonesia. Masa depan yang berkualitas tentunya. Karenanya, untuk sampai pada tujuan tersebut anak-anak perlu dididik banyak membaca. Tapi bukan sembarang bacaan, melainkan bacaan-bacaan bermutu. Itulah perhatian besar Prof. Riris K.Toha Sarumpaet, Guru Besar Universitas Indonesia, penulis buku, drama, cerita pendek, serta pembicara seminar dunia pendidikan.

Riris tak hanya pakar dalam bidangnya. Suaranya enak didengar. Ada kesadaran dramatik dalam cara bicaranya, yaitu dengan memainkan tempo dan tinggi rendahnya nada dalam berbicara. Hasilnya akan memikat siapapun yang mendengar. Dalam wawancara yang berlangsung dirumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dia berbicara banyak hal tentang dunia anak. Terutama pustaka kelana yang dia kelola bersama teman-temannya.

“ Saya ini ahli sastra anak-anak dan banyak menulis untuk anak-anak, di Koran, di majalah dan lain-lain. Curahan hati saya memang untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya masa kanak-kanak. Kita kan selalu melihat ke depan, “ ujarnya memulai pembicaraan. Berbicara soal buku, ia selalu tampak antusias. Bagi Riris, buku tidak hanya sekedar memuat informasi. Buku pun tidak hanya sekedar jendela menatap dunia.

“ Bagi saya buku itu adalah kehidupan. Jadi bagaimana cara kita bergumul, menghadapi dan memenangkan kehidupan, mau tak mau kita harus masuk kedalam dunia buku, “ katanya ketika menjabarkan arti buku baginya. Namun sayangnya, katanya, tak semua anak-anak Indonesia bisa memiliki akses membaca buku, apalagi buku-buku bermutu. Jumlah perpustakaan yang ada pun jauh dari memadai serta sepi pula dikunjungi oleh anak-anak. Anak dan remaja lebih suka jalan-jalan ke mall dari pada pergi ke perpustakaan.

“ Cobalah Anda pergi melihat ke perpustakaan. Buku anak-anak banyak, tapi tidak disentuh dan tidak dibaca. Kertas bukunya masih bagus-bagus, rapi-rapi dan masih mengkilat. Pada hal buku yang terbaca, apalagi sering dibaca, justru akan tampak jadi kumal, lecek dan hampir rusak. Kapan kita bisa melihat anak-anak itu datang berduyun-duyun ke perpustakaan dan melihat mereka bergembira karena tahu bahwa di perpustakaan itu banyak ilmu pengetahuan, “ katanya lebih lanjut. “ Itulah yang membuat saya dan kawan-kawan terpikir untuk membuat suatu perpustakaan yang dekat pada anak-anak dan remaja. Tetapi ,tentunya kami mempertimbangkan anak-anak itu tetap sebagai anak-anak, “ ujar wanita kelahiran Tarutung 24 Pebruari 1950 silam.

Curahan hatinya pada anak-anak Indonesia banyak dia ungkapkan lewat karya tulis. Karya tulisnya antara lain, Apresiasi Puisi Remaja, Sastra Masuk sekolah, nanda (drama), Perrempuan Di Rumah Tuhan, cairan Perempuan (monolog) dan lain-lain. Bahkan skripsi yang dia tulis untuk mengambil gelar sarjananya di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, tahun 1975 silam, berbicara tentang bacaan anak-anak.

Pustaka Keliling Dan Kotak Kelana :

Menumbuhkan agar minat baca anak dan remaja berkembang, salah satu caranya ialah memberikan akses yang mudah bagi mereka untuk membaca buku. Itulah gagasan awal berdirinya perpustakaan Kelana. Waktu itu tahun 1995. Pada awalnya Nasti Reksodiputro, salah seorang pensiunan dosen UI, bersama Riris Sarumpaet, Grace Wiradisastra dan Olvia Beauthauville sepakat untuk mendirikan sebuah yayasan bernama Pustaka Kelana. Kegiatan yayasan ini untuk menyelenggarakan perpustakaan keliling diseputar Jakarta dengan menggunakan sejumlah mobil. Mobil perpustakaan ini akan mendatangi pelosok-pelosok Jakarta, dan menggelar buku bacaan bagi anak dan remaja. Selain itu, mereka menyediakan sebuah rumah berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, sebagai rumah pustaka yang diberi nama Pustaka Mangkal.

Tahun 1996 Pustaka Kelana diresmikan beroperasi oleh Menteri Pendidikan Nasional, kala itu dijabat oleh Prof.Dr.wardiman Djojonegoro. Kendaraan mobil pertama diperoleh dari sumbangan persatuan alumni Jerman, dan mobil kedua dari Citibank Peka (Peduli dan Berkarya). Sedangkan koleksi buku Pustaka Kelana berasal, selain dari sumbangan beberapa pribadi, beberapa penerbit dan bantuan dari Coca-Cola Foundation Indonesia. Buku-buku perpustakaan dalam edisi bahasa Inggris antara lain kontribusi dari British Council, Women’s International Club, University of Canberra, lembaga dari Jepang dan lain-lain. Kerjasama dengan sejumlah lembaga itu murni untuk membangun kesadaran membaca dan memberikan akses yang mudah bagi anak Indonesia untuk mendapatkan bacaan. Namun, mereka tetap selektif terhadap buku yang masuk.

“ Buku-buku Pustaka Kelana memang kita pilih. Saya harus melihat lebih dulu bagaimana moral buku tersebut dan visi apa yang hendak diberikan pada anak yang akan membacanya. Misalnya buku biografi seseorang. Dalam tampilannya bisa saja super lux, tebal dan bagus, tetapi bila saya tahu orang itu koruptor, maka buku itu tak akan masuk ke perpustakaan kami. Atau buku-buku yang bersifat rasialis, pelecehan seksual dan merendahkan martabat manusia, itu juga akan ditolak oleh pustaka Kelana. Kami harus memberi inspirasi positif kepada anak dan remaja melalui apa yang mereka baca, “ jelas Riris. Koleksi pustaka itu kini lebih dari 9000 buku dengan tiga buah mobil Kelana yang menjelajah kampung-kampung dan sekolah-sekolah di Jakarta.

“ Bila mobil pustaka Kelana telah tiba dilokasi, biasanya anak-anak pada riuh dan senang. Para pekerja pustaka kami, lalu menggelar tikar dan mereka kemudian melayani anak dan remaja yang ingin membaca disitu. Tiap mobil pustaka Kelana bisa melayani 11 tempat dalam setiap minggunya, “ ujarnya lagi memaparkan pelayanan mobil Kelana. Tapi, tidak hanya itu. Di pustaka Kelana anak-anak itu dididik bagaimana cara membaca yang benar. Kadang mereka diajak untuk membuat abstraksi. Kadang diajak bertukar pikiran. Kadang diajak mendongeng. Kadang mereka diajak dalam suatu kegiatan lomba. Lain lagi di pustaka Mangkal. Anak yang datang bisa membaca buku disitu, tetapi juga tersedia ruang untuk nonton. Anak-anak yang nonton akan didampingi dan kadang diajak diskusi tentang film yang telah mereka tonton.

“ Jadi pendekatan kami sebetulnya lebih kekeluargaan, tapi punya disiplin pendidikan. Anak-anak anggota pustaka Kelana dididik untuk berpikir kritis, tetapi juga diajar supaya punya keperdulian pada teman-temannya, “ ujar penerima penghargaan Satyalencana Karya Satya 20 tahun dan Dosen Teladan I, Fakultas Sastra UI tahun 1994.

Ada lagi yang disebut layanan Kotak Kelana. Kotak Kelana ini sering mereka kirim ke sekolah-sekolah SD dan SMP di Jakarta untuk mendapat pinjaman buku dari mereka. Setiap Kotak Kelana berisi antara 50 hingga 75 buku, baik berupa buku fiksi maupun ilmu pengetahuan, dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Menurut Riris, Kotak Kelana ini bahkan sudah melayani lintas pulau, menjangkau wilayah-wilayah nusantara, antara lain Aceh, Ambon dan daerah-daerah pulau Jawa lainnya.

“ Waktu masa-masa banjir dulu dan gempa meluluh lantakkan kota Yogya, kami mengirimkan banyak Kotak Kelana, serta memasang tenda-tenda untuk membantu anak-anak supaya tetap bisa belajar. Para relawan kami kirim untuk membantu anak-anak supaya tetap bisa belajar, “ katanya mengenang.

Tapi, Kotak Kelana ini juga bisa dipesan. Misalnya disuatu daerah, ada seseorang minta dikirimi Kotak Kelana, maka sipemesan hanya membayar satu kali untuk jumlah buku yang ada didalamnya. Untuk bulan-bulan selanjutnya, buku-buku yang telah habis dibaca, bisa ditukarkan dengan buku lainnya tanpa harus membayar lagi.

Perpustakaan Mobil Kelana dan Layanan Kotak Kelana, kata alumni University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat ini, dalam keseharian dijalankan oleh tiga orang karyawan, dan selebihnya dibantu oleh para relawan. Biaya operasional mereka sekitar 20 juta per bulan. Dana bantuan yang mereka dapat dari sumbangan pribadi maupun kerjasama dengan lembaga atau perusahaan yang memiliki kepeduliaan terhadap anak-anak Indonesia, itulah yang mereka kelola. “ Tapi, setiap dana yang kami terima kami buat laporannya. Tak jarang kami, anggota yayasan, harus menutup kekurangan dana operasional dari kantong sendiri, “ ujarnya tersenyum.

Sehari-hari Riris mengajar di Universitas Indonesia untuk mata kuliah pengkajian drama, pengkajian cerita anak dan metode penelitian sastra. Kini, sebagai dosen luar biasa untuk program pasca sarjana UI, dia antara lain mengajar sastra kontemporer dunia.

Bangga Sebagai Perempuan Batak

Riris mengaku bangga terlahir sebagai wanita Batak. Katanya, sifat berterus terang, tegas dan kritis serta peduli pada sesama yang jadi bagian dari integritas dirinya itu, diturunkan dari orangtuanya. Riris, anak kelima dari sembilan bersaudara, lahir dari pasangan Saladin Sarumpaet dan Yulia Hutabarat. Orangtuanya, Saladin Sarumpaet, dahulu dikenal sebagai pendiri Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan pernah menjadi Menteri Pertanian dan Perburuhan dalam masa pemerintahan revolusioner buatan PRRI/Permesta. Menjelang akhir hidupnya, Saladin Sarumpaet pernah mengajar di Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, selain memberi andil mendirikan gereja HKBP Rawamangun. Juga pernah sebagai pejabat aktif di Dewan Gereja Indonesia (DGI). Ibunya, Yulia Hutabarat, dahulu dikenal sahabat dekat Mohammad Hatta dan pernah menjabat Ketua Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) Sumatera Timur serta anggota Konstituante.

Pergaulannya dalam lintas budaya dan disiplin ilmu mempertemukannya dengan seorang pria Sunda, Ir.Franciscus Toha, pengajar di Departemen Teknik Sipil, ITB. Mereka saling jatuh cinta dan kemudian menikah pada 8 Desember 1979 di Wisconsin, Amerika Serikat. “ Dia bangga dan senang dapat wanita Batak, “ kata Riris ketika menyinggung sekitar perjalanan rumah tangganya. Suaminya pun telah lama dirajahon, diberi marga Manulang.

Menurut suaminya, perempuan Batak itu memiliki karakter kuat dan bertanggung jawab. Dari buah perkawinan mereka, Tuhan telah mengaruniakan pada mereka tiga orang putri yaitu Risa, Astrid dan Thalia Toha. Biduk rumah tangga yang telah mereka dayung selama hampir tiga puluh tahun, hanya dimungkinkan karena adanya saling pengertian antara mereka. “ Makin hari rumah tangga kami makin baik, makin harmonis, seiring dengan umur kami yang semakin tua. Karena apa ? Karena dialah yang paling mengenal diri saya dan sayalah yang paling mengenal pribadi suami saya, “ simpulnya seraya tersenyum bahagia.


* tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah Tapian, edisi September 2008.


Tidak ada komentar: