Kamis, 11 Desember 2008

Si Gale-Gale, Pelipur Lara Siapa Saja


Didongengkan kembali oleh : Sahala Napitupulu.

Pada zaman dahulu kala, daerah Uluan di tanah Batak dipimpin oleh raja Rahat. Istrinya telah lama tiada. Dia raja bijaksana dan mempunyai seorang putra satu-satunya, bernama Manggale. Rakyat yang dipimpinnya hidup dengan tentram dan makmur. Sedangkan Manggale, selaku putra mahkota, dihormati karena ketangkasannya dalam berperang. Menjunjung tinggi kebenaran dan mencintai rakyat Uluan.

Namun, suatu hari terdengar kabar bahwa dihutan perbatasan Uluan telah berkumpul pasukan dari seberang. Mereka hendak menyerang dan menjarah harta kekayaan Uluan. Rakyat tampak gelisah menunggu apa yang akan terjadi. Menunggu apa yang akan diputuskan oleh raja mereka. Segera sang raja mengumpulkan penasehatnya, para tua-tua kampung, para datu, termasuk Manggale sebagai panglima perang.

“ Pasukan musuh telah masuk ke wilayah Uluan. Rakyat sudah gelisah. Rakyat Uluan menunggu keputusan saya. Berikanlah nasehat kalian, “ tutur raja setelah menjelaskan keadaan yang tengah terjadi. Mereka saling memandang. Wajah mereka diliputi ketegangan.

“ Apa pendapatmu datu Mangatas ? “ Tanya sang raja kemudian.

Sang datu diam sesaat. Ia penaseha tertua dan pertimbangannya sangat didengarkan oleh raja. Ia berpikir keras. Setelah menghela nafas panjang, sang datu menjawab. “ Musuh yang akan kita hadapi sudah terkenal tangkas dalam berperang, tangkas dalam berkuda dan ganas dalam menghunus pedang. Tapi jangan takut, karena pasukan Uluan yang dipimpin Manggale akan menang melawan mereka, “ ujar datu Mangatas dengan suara berwibawa.

Raja Rahat melayangkan pandangan kepada tua-tua kampung. Tak ada bantahan. Kemudian raja menatap putranya, Manggale. Sang putra pun tampak setuju dengan pendapat sang datu.

“ Baiklah. Dengan ini saya raja Rahat, raja Uluan menyatakan akan mengirimkan pasukan kita untuk segera berangkat melawan musuh di hutan perbatasan. Anakku Manggale akan memimpin pasukan Uluan. Kiranya berkat Debata Mulajadi Nabolon menyertai engkau dan pasukanmu, anakku, “ kata sang raja memutuskan.

Enam bulan sudah berlalu. Manggale dan pasukannya masih dihutan perbatasan berperang menghadapi pasukan musuh. Raja Rahat dan rakyat Uluan menungggu-nunggu. Tak ada yang berani masuk hutan.

Hari-hari dilalui sang raja dengan gelisah. Tapi, malam sebelumnya ia punya mimpi buruk. Ia melihat seekor burung yang sedang terbang tiba-tiba jatuh ke halaman rumahnya terkena panah seorang pemburu. Adakah ini sebuah isyarat dari Debata Mulajadi Nabolon ? Tanya sang raja memikirkan arti mimpinya itu.

Sore itu langit kelam. Raja Rahat sedang merindukan kedatangan Manggale, putranya. Tak tahan hatinya dilanda rasa rindu pada putranya itu. Tapi, tak ada kabar berita tentang keadaan sebenarnya. Apakah pasukan Uluan menang atau kalah, tak ada kepastian beritanya. Sedangkah mimpi terpanahnya seekor burung, ia tafsirkan sebagai pertanda buruk. Mungkin anakku Manggale telah tewas di hutan, pikir raja mengenai nasib putranya itu.

Sejak datangnya mimpi itu, sang raja jadi tampak termenung berlama-lama. Ia lebih suka mengurung diri di kamarnya berhari-hari. Kadang sang raja tak menyentuh makanan dan minuman. Bahkan sering tak membasuh muka atau mandi untuk menyegarkan tubuh. Rakyat Uluan cemas kalau-kalau sang raja jatuh sakit.

Sore itu langit Uluan berkabut gelap. Tua-tua kampung dengan datu Mangatas telah bersepakat untuk melihat keadaan raja mereka. Sesaat setelah mereka masuk kedalam rumah raja, betapa hati mereka bersedih. Sang raja mereka temukan dalam keadaan terbaring mengenaskan. Ia tak bisa berbicara. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya kurus dan ringkih. Tatapan matanya kosong.

Sang datu menjamah tubuh sang raja. Memeriksanya sedemikian rupa. “ Tak ada penyakit padanya. Raja kita sakit karena memikirkan Manggale, “ ujarnya. Lalu ia mengajak mereka semua keluar dari kamar sang raja untuk merundingkan cara pengobatannya. Mereka pun berunding, memikirkan bagaimana supaya raja bisa sembuh. Menghadirkan Manggale kepada sang raja, rasanya tak mungkin. Mereka tak tahu dimana sekarang Manggale dan pasukannya. Mungkin masih hidup, mungkin juga tidak. Masing-masing sibuk dengan jalan pikiran bagaimana menolong sang raja yang mereka cintai itu.

Datu Mangatas beberapa saat kemudian memberi isyarat untuk bicara. Dia menemukan ide untuk mengobati rasa rindu raja pada anaknya.

“ Kita akan membuat patung yang menyerupai Manggale. Dengan melihat patung Manggale, semoga kerinduan hati raja kita akan terobati, “ ujarnya menawarkan idenya itu. Semua terdiam. Semua larut memikirkan tentang ide membuat patung Manggale. Akhirnya mereka setuju.

“ Tapi siapa yang aka mengerjakan patungnya dan dimana akan dikerjakan ? “ tanya seorang tetua yang dipanggil ompung Binsar.

“ Saya tahu di kampung Lumbanjulu Nihuta ada orang yang pintar membuat patung manusia. Dialah yang aka mengerjakan patung Manggale. Dan nanti, bila patung itu telah selesai, supaya tampak hidup kita aka mengundang roh Manggale untuk masuk kedalam patung itu, “ tanggap datu Mangatas.

“ Bangaimana caranya supaya roh Manggale mau datang ? “ Tanya ompung Binsar.

“ Tiup Sordam dan tabuh Gondang Sabangunan. Saya akan manortor untuk memanggil roh Manggale, “ jawab sang datu. Perundingan mereka pun rampung.

Tiga bulan kemudian. Sesuai dengan petunjuk datu Mangatas, upacara memanggil roh Manggale dilakukan saat bulan purnama.

Dan saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Malam itu bulan purnama tampak seperti tersaput kabut magis. Asap dupa bertebaran disekeliling tempat upacara. Penduduk telah berkumpul. Patung Manggale ditaruh ditengah halaman. Ukuran dan tinggi patung itu tampak sama persis dengan Manggale. Mereka duduk melingkari patung Manggale. Semua hening. Mereka sedang menunggu kedatangan raja untuk masuk bersama sang datu yang akan memimpin upacara. Tak lama kemudian raja pun tiba di lokasi. Demi melihat patung Mangggale, raja segera menangis. Lama ia menatap patung itu seperti tak percaya pada penglihatannnya.

“ Manggale, anakku..” desahnya lirih, nyaris tak terdengar. Semua terharu. Beberapa saat berlalu. Datu Mangatas kemudian memberikan isyarat kepada pargonci supaya musik gondang segera ditabuh.

Mula-mula dimulai dengan tiupan Sordam. Menyusul tabuhan gondang. Sang datu mengambil tali tiga warna : merah, putih dan hitam. Mengikatkannya dikepalanya. Lalu mengenakan ulosnya. Dia masuk ketengah lingkaran. Merapal mantra memanggil roh Manggale. Dan sesaat kemudian ia pun manortor mengkuti tabuhan gondang. Semua mata menatap padanya dengan saksama. Sambil terus manortor, dia mengitari patung Manggale tujuh putaran. Dan, tiba-tiba patung itu mulai bergerak. Tidak hanya bergerak, tetapi manortor. Patung itu manortor bersama sang datu. Kemudian raja dijemput oleh sang datu dan Manggale untuk ikut manortor. Raja bangkit berdiri. Dan ia pun ikut manortor.

Pargonci terus menabuh gondang bersama peniup sordam. Rakyat Uluan, demi melihat raja telah manortor bersama patung Manggale, pun ikut bangkit berdiri. Lalu mereka manortor bersama. Mereka bergembira. Semua manortor bersama patung Mannggale hingga fajar menyingsing. Namun, “ pesta “ itu harus berhenti. Karena begitulah perjanjiannya, sebelum ayam hutan berkokok, roh Manggale harus dikembalikan ke alamnya.

Sesaat kemudian ayam hutan memang terdengar berkokok. Roh Manggale lantas terbang meninggalkan mereka. Dan patung dirinya itu pun tak dapat lagi bergerak. Rakyat Uluan lalu menyimpan kembali patung Manggale. Demikianlah raja Rahat sejenak terhibur. Dia telah bertemu dengan “ putra”nya Manggale. Sejak itu, apabila sang raja merindukan anaknya, maka upacara pemanggilan roh Manggale dilakukan kembali. Zaman silih berganti dan patung itu kemudian disebut Si Gale-gale.

Sekarang yang bisa memanggilnya tidak mesti seorang raja. Siapa saja yang berkunjung ke Tomok, di Samosir, boleh mampir ke patung Si Gale-gale dan memberikan saweran kepada penjaga patung itu. Dan manortorlah si patung.


* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah TAPIAN, edisi November 2008.

Tidak ada komentar: