Senin, 08 Desember 2008

Dalihan na Tolu, Dimata Mereka


By.Sahala Napitupulu.

Kiri : Gibson Sihombing, 40 tahun, Kandidat Doktor ekonomi Universitas Persada Indonesia.
Kanan : Charles BonarSirait, 37 tahun, Pembawa Acara.
_________________
(Majalah budaya Batak,Tapian, pada edisi September 2008, dalam rubrik Sudut Pandang mengetengahkan tentang dinamika Dalihan na Tolu, khususnya dimata kaum muda Batak di perantauan, dalam judul Ada Perubahan Tapi Esensi Dalihan na Tolu Tak Tergoyahkan. Diantara nara sumber yang ditampilkan Tapian ada Charles Bonar Sirait dan Gibson Sihombing. Dibawah ini petikan komentar mereka.)
Gibson Sihombing :
Dalam tradisi Batak, Dalihan na Tolu merupakan sumber hukum adat yang mengatur kehidupan budaya masyarakat Batak, yaitu somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboro. Falsafah ini dipakai sebagai pedoman dalam kehidupan sosial dan tatanan adat Batak sejak orang lahir sampai meninggal dunia. Pemahaman tentang Dalihan na Tolu saya peroleh tidak hanya melalui bacaan Saya aktif dalam punguan marga, kini saya wakil sekretaris punguan pomparan Op.Mangambittua Nababan se-Jabodetabek. Sehingga saya banyak terlibat dalam menghadiri acara-acara adat Batak.
Didalam Tungku nan Tiga itu juga ada mengandung azas keadilan. Karena setiap orang Batak dapat menempati posisi sebagai hula-hula, bisa sebagai dongan tubu maupun sebagai boru. Sebuah contoh sederhananya seperti ini. Katakanlah, disebuah pesta adat perkawinan yang saya hadiri pada hari Jumat, kedudukan saya disitu sebagai pihak hula-hula. Tetapi, di hari Sabtu, di pesta adat yang lain saya hadir sebagai pihak dongan tubu. Dan di hari Minggu, dalam pesta yang lain lagi, saya hadir dalam kedudukan sebagai pihak boru. Jadi, tidak ada posisi yang permanen dalam Dalihan na Tolu. Hari ini saya bisa hula-hula, besok bisa sebagai dongan tubu dan lusa sebagai boru.
Selain itu, Dalihan na Tolu mendorong orang Batak supaya hidup bergotong- royong. Berdasarkan Dalihan na Tolu, tak ada pesta yang tidak dikerjakan secara bergotong royong. Baik pihak hula-hula, dongan tubu maupun boru, punya peran dan tanggung jawab kerja masing-masing. Pihak hula-hula (dan juga tulang) diperlakukan dengan hormat oleh pihak pelaksana adat, mulai dari posisi duduk, cara penyampaian tutur kata sampai pada hidangan makanan dan minuman. Lain lagi pihak parboru. Mereka akan mengambil posisi sebagai “pembantu” yang mengurusi urusan dapur. Sedangkan pihak dongan tubu akan menunjukkan sikap gotong-royong dengan mengumpulkan tumpak(sumbangan) untuk dipergunakan oleh pelaksana pesta adat. Itulah nilai positif yang membuat Dalihan na Tolu bisa eksis hingga kini ditengah gempuran budaya modern.
Namun, menurut pengamatan saya, dalam pelaksanaannya sekarang, hubungan hula-hula-boru mulai bergeser. Artinya, tidak sesakral pada mulanya. Kini pihak boru tidak lagi menganggap pihak hula-hula sebagai sumber berkat. Seperti pandangan para leluhur kita dahul;u, berkat itu datang melalui perantara hula-hula. Tapi, kini tidak lagi. Hal ini dipengaruhi, terutama, oleh faktor menguatnya pengajaran agama Kristen ditengah masyarakat Batak.
Charles Bonar Sirait :
Walau modernitas telah membawa orang sangat maju (individualistis), namun manusia tetap merupakan mahluk sosial yang memiliki kebutuhan akan berkomunikasi. Dalihan na Tolu pada konteks ini merupakan falsafah yang tepat untuk dapat membuat manusia tetap akrab dan memiliki hubungan batin.
Dalihan na Tolu ditengah gempuran budaya modern ternyata masih tetap terpelihara. Pesta-pesta adat Batak masih terselenggara oleh halak hita di perantauan. Ditengah gempuran budaya modern, dia tetap bertahan, karena adanya kekuatan nilai didalamnya. Nilai-nilai itu antara lain kekerabatan, hagabeon, hamoraon,uhum dan ugari, pangayoman dan marsisarian.
Nilai hagabeon itu bermakna harapan panjang umur dan beranak cucu yang banyak. Nilai hamoraon (kehormatan) terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan materi pada diri seseorang. Nilai uhum (hukum) dan ugari (kebiasaan) tercermin dalam penerapan dalam menegakkan keadilan dan kesetiaan pada janji. Nilai pangayoman bermakna perlindungan. Sedang marsisarian artinya saling mengerti, saling membantu.
Dari semua nilai itu, nilai kekerabatanlah ditempat paling utama. Nilai-nilai luhur dari budaya Batak tidak luntur, walau zaman berubah dengan cepat. Karena ada aspek ketertautan antar manusia yang tidak dapat tergantikan. Memang, sesuai dengan perkembangan zaman, penerapan Dalihan na Tolu dalam pesta-pesta adat sudah perlu disederhanakan,agar waktu lebih efisien. Seperti diketahui, karena soal waktu yang tidak efisien, banyak pasangan muda Batak malas menghadiri pesta-pesta adat Batak.
Yang penting bagaimana nilai-nilai luhur dari Dalihan na Tolu itu lebih disosialisasikan dan dapat berperan nyata dalam perkembangan mental generasi muda.
Dalam bahasa Batak hanya anak lelaki yang disebut anak, sedangkan anak perempuan disebut boru. Lelaki langsung memakai marganya sesudah nama kecilnya. Dalam adat Batak, sesuai dengan Dalihan na Tolu, marga memegang peran utama. Istilah kekerabatan, seperti dongan sabutuha atau dongan tobu, pihak uhula-hula maupun pihak boru didasarkan pada hubungan marga-marga. Karena itu Dalihan na Tolu itu bisa menembus sekat-sekat agama.

Tidak ada komentar: