Kamis, 04 Desember 2008

Edward Pesta Sirait, Mimpi Ulos Inang Dalam Seluloid



Kiri : Sosok Edo sekarang.

Kanan : Ketika mengarahkan Nurul Arifin dan Deddy Mizwar dalam fim 2 dari 3 Laki-Laki,1989.


By.Sahala Napitupulu.

Kecintaanya pada seni menghantarkannya ke dunia teater dan film. Dan dunia film kemudian melambungkan namanya. Dia senang dengan cerita drama dan kecenderungannya adalah realisme. Dia telah membuat 16 judul film layar lebar dan para pemainnya sering masuk nominasi dalam festival film. Ita Mustafa yang tampil dalam Gadis Penakluk, film yang disutradarainya, merebut piala Citra sebagai Aktris Terbaik tahun 1980. Uniknya, dalam sejarah Festival Film Indonesia, tak satupun piala Citra untuk kategori Sutradara Terbaik yang pernah diberikan kepadanya. Itulah Edward Pesta Sirait atau akrab dipanggil Bung Edo.

Meski sekarang usia tak lagi muda, namun ia amat bersemangat bila diajak berbicara soal film. Dalam usia senjanya, ia masih punya mimpi ingin memfilmkan skenario yang telah lama dia tulis. Sebuah skenario yang bercerita tentang perjalanan ulos dari hasil tenunan sang ibu di bonapasogit untuk kelak diselimutkan pada sang cucu laki-laki pertama. “ Cerita itu saya tulis mengambil inspirasi dari pengalaman masa kecilku. Ibuku dahulu adalah seorang penenun ulos yang trampil, “ ujar Edo. Ia sangat memuji karya tenun ulos ibunya. Menurutnya, ulos tenunan ibunya sudah sering dipesan orang ketika masih dalam tahap pengerjaan. “ Boleh jadi, darah kesenimananku turun darinya. Ibuku itu seniman, “ katanya mengenang.

Dilahirkan di Porsea, Tapanuli Utara pada 7 Agustus 1941. Edo merupakan anak ke 7 dari 9 bersaudara dari orangtua Hendrik Raja Sirait dan Marta br.Situmorang. Pengalaman masa kecilnya dahulu, katanya, sangat menyenangkan. Edo kecil adalah anak yang senang bermain. “ Ketika kanak-kanak, saya dan teman-teman senang bermain perang-perangan. Saya yang selalu memimpin permainan. Enggak tahu kenapa, dimata teman-teman saya selalu ditokohkan “ katanya mengurai masa lalu.

Salah satu permainan yang dia suka waktu itu ialah membuat film kartun dalam bentuknya paling sederhana. Caranya, ia membuat orang-orangan dari kertas kartun. Orang-orangan tersebut lalu dikaitkan ke benang yang melintang dan bisa dia putar maju dan mundur melalui dua gulungan benang. Kesannya orang-orangan tersebut dapat bergerak maju atau mundur ketika gulungan benang tersebut diputar-putar. Orang-orangan itu kemudian dia proyeksikan ke kain layar atau didinding memanfaatkan cahaya lilin atau lampu teplok. Hasil proyeksi itulah yang ditonton oleh teman-temannya sebagai film animasi. Sebuah film animasi yang sederhana. “ Itulah yang dulu sering saya lakukan dan teman-temanku menonton film kartun buatanku itu, “ Edo menambahkan.

Lubang Khusus

Beranjak remaja, minatnya pada film terus berlanjut. Kala itu ia sudah mulai keranjingan nonton film bioskop. “ Waktu saya sekolah SMP di Balige. Saya dan teman-teman dulu sering nonton film di bioskop. Film Tarzan dan Flash Gordon, beberapa yang masih saya ingat. Saya dan teman-teman menontonnya sering dengan ngintip melalui lubang khusus, kalau kami tak punya uang untuk membeli tiket atau kalau film yang diputar kebetulan untuk17 tahun keatas, “. Dari keseringan menonton itulah, ia pun mulai melihat film bukan hanya sebagai hiburan, tapi sebagai media ekspresi jiwa yang amat menarik untuk dia pelajari di kemudian hari.

Seperti sebuah film, dia memutar kenangannya. Masa itu tahun 1961. Keluarganya membawa Edo ke Jakarta. Sebelumnya ia pernah tinggal beberapa waktu di Medan. Di Jakarta Edo tinggal dirumah abangnya. Dia disekolahkan di SMA 9 Bulungan. Tapi, Edo mengaku, sebagai murid ia tidaklah terlalu bodoh tapi juga tidak terlalu pintar. Hingga tahun 1963, pendidikan SMA itu bisa dia selesaikan dengan prestasi biasa-biasa saja. Tetapi, setelah tamat kemana dia akan melanjutkan ? Ia tak begitu pasti, pada mulanya.

Suatu hari, menurut kisahnya, ia melihat iklan penerimaan mahasiswa baru U.I.Extension Hukum. Edo pun mendaftar. Setelah lulus tes, ia mulai bersiap-siap untuk mengikuti perpeloncoan. Tetapi, tiba-tiba ia melihat sebuah iklan lain, penerimaan mahasiswa baru Akademi Teater Film Indonesia (ATFI). Edo tertarik. Ia mendaftarkan diri. UI ditinggalkannya dan masuk ke ATFI. Namun, setelah kuliah berjalan setahun ternyata dia tak mendapatkan apa-apa. Ia kecewa.“ Yang dipelajari kebanyakan hanya ideologi negara dan bahasa Inggris, “ katanya. Edo pun ogah-ogahan kuliah.

Dikemudian hari, ia tahu ada tempat kuliah kesenian yang lain, yaitu Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). “ Saya melihat jajaran dosennya kayaknya meyakinkan. Saya lihat disitu ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Pmd, D.Djaya Kusuma dan Sitor Situmorang, “ ujarnya melanjutkan cerita. Ia tertarik untuk belajar pada dosen-dosen tersebut. Segera ATFI ia tinggalkan dan masuk ke ATNI. Disini, katanya, dia baru menemukan apa yang telah lama dia cari. Kala itu tahun 1964. “ Di ATNI lah, saya belajar banyak tentang teater dan sejarahnya, tentang film dan sejarahnya hingga ke cara pembuatan film. Apalagi kala itu, sebagian dosen-dosen ATNI baru selesai belajar dari luar negeri. Sehingga semangat mereka mengajar luar biasa untuk mentransfer pengetahuan kepada mahasiswanya, “ katanya tentang pendidikannya di ATNI.

Waktu di ATNI, ada beberapa karya drama harus dia pentaskan sebagai praktek kuliahnya. Salah satunya, yang pernah dia pentaskan Hilang Tanpa Bekas, karya drama Jean Paul Sartre. “ Waktu itu kami mahasiswa seringkali harus melakukan semuanya. Ya,sebagai pemain, pembuat dekor, kostum, make-up hingga keurusan produksinya, “ Edo menambahkan. Dua tahun lamanya, Edo berkutat belajar teater dan film secara akademis di ATNI.

Piala Akhnaton di MEsir

Dari ATNI ia kemudian masuk kedalam dunia industri film. Dia memulainya sebagai pembantu sutradara Wahyu Sihombing di tahun 1966, untuk film dokumenter. Namanya saja asisten sutradara, karena prakteknya hampir semua bagian dia disuruh Wahyu Sihombing. Mulai dari mengerjakan urusan konsumsi hingga kebagian penyambungan film alias Editing. Tetapi, dari keadaan seperti itu justru ia banyak belajar. Edo kemudian hari terlibat dalam pembuatan beberapa film cerita, sebagai asisten sutradara Asrul Sani, Djaya Kusuma, Nyak Abbas Acub, Wim Umboh dan lain-lain.

“ Saya juga pernah bekerja sebagai karyawan, ketika baru menikah tahun 1967. Saya pernah menjadi asisten manager pertunjukan di Sarinah dan bekerja di Miraca Sky Club. Kemudian tahun 1970-1971 saya pernah bekerja di Taman Ismail Marzuki bagain stage management. “ Ia mempersunting Gontina boru.Tambunan.

Meski dia telah banyak terlibat sebagai asisten sutaradara untuk film layar lebar, tapi Edo secara mental ternyata belum siap untuk menyutradarai film sendiri. Beberapa tawaran produser pernah dia tolak karena merasa belum siap. Sebagai uji coba, tahun 1975, Edo lalu memilih untuk membuat film iklan melalui perusahaan Ariza Jaya Film. iklan-iklan produk seperti susu, sabun, shampoo dan lain-lain, waktu itu banyak dia kerjakan. “ Waktu itu film iklan saya sering diputar di TVRI, “ katanya. Itu adalah masa belajarnya sebagai sutradara. Setahun menjadi sutradara film iklan dia rasa sudah cukup. Maka pada tahun 1977, ketika datang tawaran padanya untuk menyutradarai film layar lebar, jenis film anak-anak, segera ia terima dengan antusias. Film itu berjudul Chica. Pengalaman dan ilmu penyutradaraan yang telah dia dapat dari beberapa sutradara film, kini ia tumpahkan kedalam karya film pertamanya ini.

Dalam beberapa bulan syuting film Chicha pun rampung. Film perdananya ini kemudian disertakan oleh Departemen Penerangan pada Festival Film di Mesir. Hasilnya, film Chicha menyabet piala Akhnaton (1977) di Kairo untuk kategori Film Terbaik Anak-Anak. Diputar di biskop-bioskop di Indonesia, film Chica banyak mendapat pujian, selain meraih sukses komersil. Sesudah itu, ia menyutradarai lagi film anak-anak Ira Maya Si Anak Tiri. Lagi-lagi sukses secara komersil. Sedangkan untuk kategori film dewasa, yang paling banyak mendatangkan penonton adalah film Buah Terlarang (1979) dan Bila Saatnya Tiba (1985).

“ Khusus dalam pembuatan film Bila Saatnya Tiba ada kepuasan tersendiri. Karena ego saya sebagai sineas film banyak terlampiaskan disitu. Sebab skenario film dan penyutradaraannya saya yang kerjakan, “ kataya. Tapi, tak semua film Edo berhasil meraih banyak penonton. Film Sang Guru, meski sarat dengan kritik sosial, ternyata tak diminati publik. Film layar lebar terakhir yang disutradarai Edo berjudul Joshua Oh Joshua (2001). Sayang, film terakhirnya ini tak terlalu menggembirakan.

Dunia film Indonesia kemudian mengalami mati suri. Yang menjadi tren sejak awal tahun 2000-an adalah film serial untuk televisi. Banyak sutradara film layar lebar terserap kedalam tren ini, termasuk Edo. Edo sempat membuat film serial televisi, antara lain Misteri Gunung Merapi dan Karmala Ramayana yang ditayangkan Indosiar sampai ratusan episode.

Sekitar 4 tahun Edo menyutradarai film serial televisi yang dikerjakan dengan semangat kejar tayang. Tapi, ia tak menemukan kepuasan batin disitu, karena semata-mata untuk cari uang. “ Akhirnya, saya bosan karena tidak ada lagi sentuhan artistik disitu. Dan saya tak lagi memperpanjang kontrak saya untuk fim serial TV, “ jelas Edo tentang kerja kerasnya berjuang diantara kepentingan seni dan komersialisasi.

“ Sesungguhnya saya lebih cenderung memilih fungsi film itu sebagai media pendidikan, setelah sekolah sebagai media pendidikan formal. Tapi, itu yang kurang diperhatikan baik pemerintah maupun swasta. Sehingga dari dulu sampai sekarang fungsi film yang terlalu ditonjolkan adalah segi komersialnya. Yang kemudian berujung pada pembodohan terhadap masyarakat. Banyak film TV atau sinetron sekarang yang dibuat tidak nalar, “ katanya melontarkan kritik diiringi suaranya yang meninggi dan ia tampak emosional.

Empat puluh tahun lebih, Edo telah mengabdikan hidupnya pada dunia film. Umurnya kini 67 tahun sudah. Namun, Ia belum merasa perlu untuk pensiun dari dunia film. “ Ini yang saya minta pada Tuhan. Jika saya memang diberi kesehatan, mati sampai umur 70 tahun, maka umur itu akan saya abdikan untuk berkarya dan memberi makna bagi keluarga, bagi masyarakat maupun bagi negara, “ katanya.

Ayah dari 4 orang anak ini masih punya mimpi yang belum kesampaian dan semangatnya masih membara untuk membuat film berdasarkan skenario yang telah ia tulis. Dengan sesuloid, Edo ingin berkisah tentang perjalanan ulos yang ditenun oleh seorang perempuan yang sangat dia kenal dan cintai, ibunya.

**************

Filmografi Edward Pesta Sirait

Nominasi di Festival Film Indonesia

  • Film "Gadis Penkluk" (1981) dinominasikan sebagai film terbaik
  • Ria Irawan dalam film "Bila Saatnya Tiba" (1986) (nominasi)
  • Dhalia dalam film "Bukan Istri Pilihan"
  • Paramitha Rusady dalam film "Blok M" (Nominasi)
  • Tutie Kirana dalam film "Buah Terlarang" (nominasi)
  • Remy Silado – Frans Haryadi dalam film Tinggal Sesaat Lagi
  • Ira Maya Sopha –dalam film Ira Maya Si Anak Tiri

* tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah TAPIAN, edisi November 2008.

Tidak ada komentar: