Rabu, 03 Desember 2008

Adelaide Simbolon, Hidup Bersama Piano

By Sahala Napitupulu.

Adelaide Simanjuntak boru Simbolon, belakangan ini menjadi perhatian para penikmat musik kontemporer. Ia adalah pianis wanita yang punya obsesi untuk terus mengembangkan kemampuannya dalam bermusik. “ Lam matua iba lam godang obsesi, “ katanya sambil tertawa dalam sebuah perbincangan dengan Tapian. Ia akrab dipanggil Ade. Lahir dari pasangan T.A.H. Simbolon dan Saulina boru Sihombing. Banyak tempat mencatat penampilannya sebagai pianis musik kontemporer. Sebutlah misalnya pada Oktober 2007 yang baru lalu. Dalam rangka perayaan 120 tahun Museum Nasional Singapore. Selama dua hari pementasan, melalui dentingan pianonya, dia menghidupkan nada-nada musik kontemporer karya Tony Prabowo untuk publik disana.

Sebelumnya, tahun 2006 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, ia juga pernah memainkan karya Tony Prabowo. Ia tampil waktu itu dalam peringatan mengenang kepergian penyair saut Sitompul. Lebih kebelakang lagi, tepatnya Februari 2003. Untuk menyemarakan Pekan Kebudayaan Indonesia di Portugal, Ade bersama dengan soprano Binu D.Sukaman tampil menjadi duta seni Indonesia. Keduanya tampil di tiga kesempatan. Pertama pada pembukaan pameran foto di Centro Cultural Cascais. Lalu yang kedua, mereka berkolaborasi bersama penyanyi tenor Portugal Jose Laurenco de Sousa di Centro Cultural de Balem. Yang terakhir, mereka tampil di kota Lagos, Algarve.

Selain untuk merajut hubungan Indonesia-Portugal, dalam konser itu mereka juga hendak memperlihatkan pada khalayak Portugal bahwa seniman musik Indonesia masih memiliki perhatian dan wawasan musik dunia dan tetap bangga dengan karya cipta bangsanya sendiri. Itulah sebab selama konser musik disana, mereka tidak hanya memainkan karya Claude Debussy, Maurice Ravel, Manuel de Falla dan lain-lain. Karya komponis Indonesia seperti Mochtar Embut serta sebuah komposisi musik untuk vocal dan piano karya Tony Prabowo (Kuatrin Tentang Sebuah Poci) juga mereka pagelarkan disana.

Tentang hubungan kreatifnya dengan karya komponis Indonesia kontemporer, di Portugal itulah untuk pertama kali Ade memainkan karya musik Tony Prabowo. “ Di Portugal, ketika kami main ternyata enggak semua penonton bisa menerima musik kontemporer. Mungkin karena lagu yang dinyanyikan Binu dalam bahasa Indonesia. Dan saya pun memainkan karya Tony waktu itu belum begitu menjiwai, “ kata Ade menjelaskan. Namun sejak itu kerja sama mereka berlanjut. Di Jakarta tahun 2005, Ade bersama soprano Binu Sukaman dengan pemain violin Stephanie Griffin (Kanada) tampil membawakan karya Tony Prabowo dalam konser berjudul A Prayer for Refuge (Sebuah Doa Persembunyian). Konser mereka terbilang sukses. Dan kini Ade sepertinya menjadi pianis pilihan Tony Prabowo untuk membawakan karya-karyanya.

Masa kanak-Kanak

Kepekaan Ade terhadap musik telah tertanam sejak masa kanak-kanak. Bermula dari sebuah piano tua yang baru dibeli oleh orangtuanya. Bagi bocah cilik lima tahun, bernama lengkap Adelaide Giok Bie Christofora Simbolon, alat musik itu menarik perhatiannya. Piano tua itu hampir setiap hari dia mainkan. Hasilnya bunyi tanpa irama memang.

Namun bagi pak Simbolon, kegemaran putrinya itu menandakan mengalirnya bakat musik yang kuat dalam diri putrinya. Kala itu tahun 60-an, pakSimbolon, selain dikenal sebagai seorang kepala sekolah SMAN 2 Jakarta, pun piawai dalam memainkan organ. Di gereja HKBP Jalan Jambu, Menteng, Jakarta, dalam ibadah setiap Minggu organ gereja itu selalu mengalun merdu mengiringi nyanyian jemaat melalui jari jemarinya. Dan hebatya, pak Simbolon pun bisa memainkan biola dan semua itu dia pelajari secara otodidak.

Namun tentunya tak banyak yang bisa dilakukan putrinya jika tanpa pengetahuan. Itulah sebab pak Simbolon, yang juga bisa memainkan alat musik biola, kemudian mencarikannya seorang guru piano. Pak Simbolon lalu meminta Flora Khow, seorang guru piano untuk membimbing Ade. Hasilnya, setelah beberapa bulan berjalan, pianio yang dia mainkan mulai mengeluarkan bunyi-bunyi berirama. Meskipun sebatas perbendaharaan lagu kanak-kanak. Sementara di tiap hari Minggu, pak Simbolon secara sengaja meminta putrinya untuk duduk disampingnya manakala ia memainkan organ untuk lagu-lagu gereja.

Di tahun 1972, pemerintah menugaskana Pak Simbolon ke Rusia untuk menjabat sebagai Kepala Sekolah Indonesia Moskow (SIM). Pak Simbolon lalu memboyong keluarganya kesana. Selama tinggal di Moskow, Ade melanjutkan les pianonya dengan guru Rusia, Edmon Euhin. Tak hanya piano yang dia pelajari dari gurunya itu. “ Saya juga diajarkan Edmon Euhin bagaimana memainkan alat musik akordion, “ kata Ade bertutur tentang masa kecilnya di Rusia.

Masa itu masih membekas kuat dalam ingatannya hingga kini. Ia banyak mendapat kesempatan menonton konser musik klasik, kadang balet dan opera, di gedung pertunjukan Kremlin atau di Bolshoi Teater. Di Moskow, Ade pun berteman dengan Chandra Darusman (musisi jazz Indonsia kini tinggal di Swiss) dan Dian HP (kini salah satu musisi pop Indonesia). Waktu itu yang menjadi Duta Besar Indonesia ayah Chandra Darusman yaitu pak Suryono Darusman. “ Maka kalau ada acara-acara di Kedutaan Indonesia, biasanya saya atau Dian atau Chandra yang bergantian memainkan piano, “ kata Ade mengurai kenangannya itu.

Tahun 1976, selesai tugasnya, pak Simbolon dan keluarganya kembali ke Jakarta. Ade melanjutkan sekolah di SMAN 2, tempat dulu orangtuanya menjabat Kepala Sekolah. Sementara pendidikan musiknya dia lanjutkan di Yayasan Pendidikan Musik (YPM) berlokasi di Manggarai Utara. “ Di YPM, saya mendapat bimbingan piano dari Laura Himawan, Oerip S.Santoso dan Iravati M.Sudiarso. Dan sempat juga belajar cello dengan Zulkifli Arifin meski sebentar, “ jelas anak kedua dari 6 bersaudara yang lahir di Jakarta ini.

Beasiswa Ke Amerika

Tahun 1979, Ade sempat kuliah di Universitas Indonesia, Fakultas Psikologi. Tapi bidang itu ternyata tak menarik minatnya. Setahun kemudian dia pindah ke Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Jerman. Tak lama kemudian Ade menamatkan pendidikan piano tingkat terakhir di YPM. Ia pun limbung, memilih melanjutkan pendidikan musik secara profesional, yang baginya berarti belajar di luar negeri, atau menuntaskan studinya di Fakultas Sastra terlebih dulu. Saat Ade menyampaikan niatnya untuk belajar musik di luar negeri, kedua orangtuanya keberatan. Selain kendala biaya kuliah, orangtuanya pun khawatir tentang masa depannya sebagai seorang pianis. Namun tekadnya sudah begitu kuat.

Maka mulailah Ade mencari-cari informasi dan mengajukan lamaran belajar musik ke luar negeri. Lalu lamarannya pada Wisconsin Conservatory of Music diterima. Lembaga pendidikan itu juga memberinya beasiswa penuh. Kuliah di Universitas Indonesia segera ia tinggalkan untuk berangkat ke Amerika. Selama di Wiswconsin Conservatory of Music, Ade belajar piano dibawah bimbingan Carolyn Mc.Craken-Forough. Tetapi setahun kemudian, Ade dipindahkan ke Universitas Wisconsin dan belajar dibawah bimbingan Jeffrey Peterson. Selama pendidikan di Universitas ini, Ade banyak terlibat dalam Chamber Music (Musik Kamar) dan belajar dari Fine Art Quartet.

Kemudian selama musim panas 1985 dan 1986, dia menerima beasiswa untuk belajar dalam “Summer Camp” di Adamant Music School, Vermont. Disini Ade dibimbing oleh Prof.William Chaison. Dan tahun 1987, Ade meraih gelar sarjana musiknya.

Tentang pengalaman yang mengesankan selama kuliah, Ade punya cerita. Waktu itu seorang teman Wayne Cranell akan maju ujian untuk meraih gelar master dalam bidang vokal. Ia seorang penyanyi tenor. Ade ditunjuk untuk mengirigi sahabatnya itu saat ujian nanti. Berbulan-bulan mereka berlatih bersama. Beberapa hari menjelang ujian Ade bermain Squash, sejenis tenis tapi dimainkan dalam kamar tertutup, di kampus. Saat itu, tiba-tiba tangan kanannya keseleo parah. “ Besok paginya saat saya bangun saya enggak bisa menggerakkan tangan kanan ini dan sudah biru semua. Saya bawa ke dokter, dan dokter bilang ada jaringan tangan yang robek dan saya diharuskan untuk digips hingga 6 bulan kedepan, “ tutur Ade. Maka ketika hal itu dia sampaikan pada temannya Wayne untuk mencari pianis pengganti, dia melihat betapa Wayne putus asa. Hatinya pun merasa iba.

Ade lalu memutuskan untuk tetap mendampingi sahabatnya itu maju ujian vokal. Meski ia tahu hal itu berisiko tinggi bagi tangannya. “ Saya coba pegang piano ketika di belakang panggung. Sakitnya luar biasa, seperti ada pisau menusuk jari kanan saya. Tapi show must go on. Tiba waktunya kami tampil. Main lagu pertama keringat dingin saya sudah mengucur karena menahan sakitnya. Saya berdoa supaya Tuhan menjamah tanganku, “ lanjut Ade mengurai pengalamannya itu. Dan beberapa waktu berselang dia sudah bisa memainkan pianonya selama satu jam tanpa henti mengiringi sahabatnya itu. Hasilnya, sahabatnya lulus dan meraih gelar master dalam bidang vokal.

Dari Sebastian Bach Hingga Musik Kamar

Setelah banyak bergaul dengan karya musisi dunia, Ade mengakui ada periode-periode tertentu ia mengagumi seorang komponis. Suatu periode dia mengagumi Frederic Chopin (komponis Polandia, era Romantik). Ade menyebut Chopin sebagai “penyairnya” piano dan banyak menjadi kiblatnya para pianis. Bahkan menurutnya, kalau pianis belum memainkan komposisi Chopin, rasanya belum sah disebut pianis. Umumnya karya Chopin dipakai dalam kompetisi-kompetisi piano. Dalam suatu periode yang lain dia pernah mengagumi Wolfgang Amadeus Mozart (komponis Austria, era Klasik). Dan kini dia dalam tahap mengagumi Johan Sebastian Bach (komponis Jerman, era Baroq). Ade terkagum-kagum karena dia melihat begitu banyak ide dan inovasi yang dilakukan oleh Bach. Terutama melalui suara Polyphonicnya. “ Pengaruh Bach kepada komposer-komposer periode berikutnya begitu kuat sampai masa kini, “ jelas Ade. Bahkan menurutnya, untuk memainkan Bach kadang-kadang butuh intelektual tertentu. kalau diam (silent) harus dimainkan. Jadi otak dengan tangan harus sinkron, tapi tidak melupakan estetika musik itu sendiri.

Namun diluar komponis, siapakah pianis dunia yang ia kagumi selain menjadi sumber inspirasi baginya ?” Untuk pianis wanita, Ade menyebutkan nama Martha Argerich (Jerman) dan Alicia de Larocha (Spanyol). Mereka pianis wanita tapi mainnya seperti laki-laki. “ Dan kalau mereka main, bila kita tutup mata maka kita enggak akan tahu bahwa itu pemain wanita. Itu luar biasa. Tidak hanya tekniknya saja. Interpretasinya juga. Enggak ada yang bisa maen seperti mereka. Kalau orang mau maen lagu-lagu Spanyol kiblatnya pasti ke Alicia de Larocha, “ tegas Ade. Untuk pianis pria dia menyebut nama Horowitz, selain Rubinstein dan Radu Lupu.

Selain tetap bermusik, sejak tahun 2003 Ade menjadi pengajar senior di Jakarta Concervatory of Music (Konservatori Musik Jakarta). Dalam menjalankan perannya sebagai guru, keinginan Ade tampaknya sederhana saja. Yakni mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana bermain piano secara benar. Bagi Ade mengajar itu berbagi ilmu. Kadang mengasyikkan tapi kadang kala bisa juga membuatnya frustrasi. Misalnya ketika ia harus mengajar seorang murid yang tidak berbakat namun orangtuanya ambisius supaya anaknya bisa bermain piano. Kasus seperti ini lumayan sering dia hadapi.

Di Konservatori Musik Jakarta setiap orang boleh belajar musik klasik tanpa mengenal batasan umur. Sehingga di sekolah musik ini, Ade memiliki murid baik yang berusia tua maupun kaum muda remaja. Di sekolah musik ini belajar musik klasik bukan lagi dominasi kaum menengah ke atas. Artinya, biaya sekolah musik disini masih relatif terjangkau oleh orang kebanyakan.

Melalui sekolah musik ini pula Ade sering tampil dalam berbagai formasi Chamber Music Series (Musik Kamar). Ia merasa kinilah saatnya mewujudkan sesuatu yang menjadi obsesinya sejak dulu. Menjadi bagian dari formasi Musik Kamar. “ Orang bilang kalao jadi pemain chamber music itu second class. Pada hal enggak. Sama susahnya. Hanya bedanya, kalo solo semua berada di kita. Soal materi sama sulitnya. Cuma yang solo itu kan memang dianggap lebih ya. Jadi saya mau juga bilang ‘ ayo chamber music ‘, sama saja menyenangkannya dan gengsinya sama juga. Malah kau bisa sharing, kamu bisa mengalahkjan ego kamu bermain dengan orang lain. Kalau kita maen sendiri kan everything is about me, “ tutur Ade.

Masih Sering Berbahasa Batak

Meskipun dia lahir di Jakarta dengan pergaulan internasional, Ade tetap mengingat jati dirinya sebagai orang Batak. Ia masih bisa berbahasa Batak. Ade belajar bahasa Batak dari orangtuanya sendiri, karena mereka dulu kerap berbicara dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Batak. Kemudian sedikit demi sedikit dia tahu arti kata-katanya. Dengan teman-teman Batak atau dengan pihak keluarga ibunya hingga kini Ade masih sering berkomunikasi dalam bahasa Batak. Untuk menambah pemahamannya terhadap budaya Batak, dia dan suaminya Piet Agustinus Parulian Simanjuntak masih sering hadir dalam pesta-pesta adat. Tapi sebagai pemusik dia belum pernah bersinggungan secara khusus dengan musik Batak. “ Saya sering menyaksikan musik uning-uningan dan sering berpikir untuk mempelajari salah satu alat musik Batak, tetapi waktunya sekarang ini belum tepat, “ tuturnya.

Namun Ade cukup senang melihat makin bertumbuhnya group musik Batak tradisional. “ Menurut saya itu baik sekali, sangat membanggakan dan harus dipelihara serta ditampilkan dalam berbagai kesempatan, “ demikian Ade, wanita Batak yang telah memilih jalan hidupnya sebagai pemusik ****

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah budaya TAPIAN, edisi April 2008.

Tidak ada komentar: