Adelaide Simanjuntak boru Simbolon, belakangan ini menjadi perhatian para penikmat musik kontemporer. Ia adalah pianis wanita yang punya obsesi untuk terus mengembangkan kemampuannya dalam bermusik. “ Lam matua iba lam godang obsesi, “ katanya sambil tertawa dalam sebuah perbincangan dengan Tapian. Ia akrab dipanggil Ade. Lahir dari pasangan T.A.H. Simbolon dan Saulina boru Sihombing. Banyak tempat mencatat penampilannya sebagai pianis musik kontemporer. Sebutlah misalnya pada Oktober 2007 yang baru lalu. Dalam rangka perayaan 120 tahun Museum Nasional Singapore. Selama dua hari pementasan, melalui dentingan pianonya, dia menghidupkan nada-nada musik kontemporer karya Tony Prabowo untuk publik disana.
Sebelumnya, tahun 2006 di Taman Ismail
Selain untuk merajut hubungan Indonesia-Portugal, dalam konser itu mereka juga hendak memperlihatkan pada khalayak
Tentang hubungan kreatifnya dengan karya komponis
Masa kanak-Kanak
Kepekaan Ade terhadap musik telah tertanam sejak masa kanak-kanak. Bermula dari sebuah piano tua yang baru dibeli oleh orangtuanya. Bagi bocah cilik
Namun bagi pak Simbolon, kegemaran putrinya itu menandakan mengalirnya bakat musik yang kuat dalam diri putrinya. Kala itu tahun 60-an, pakSimbolon, selain dikenal sebagai seorang kepala sekolah SMAN 2 Jakarta, pun piawai dalam memainkan organ. Di gereja HKBP Jalan Jambu, Menteng,
Namun tentunya tak banyak yang bisa dilakukan putrinya jika tanpa pengetahuan. Itulah sebab pak Simbolon, yang juga bisa memainkan alat musik biola, kemudian mencarikannya seorang guru piano. Pak Simbolon lalu meminta Flora Khow, seorang guru piano untuk membimbing Ade. Hasilnya, setelah beberapa bulan berjalan, pianio yang dia mainkan mulai mengeluarkan bunyi-bunyi berirama. Meskipun sebatas perbendaharaan lagu kanak-kanak. Sementara di tiap hari Minggu, pak Simbolon secara sengaja meminta putrinya untuk duduk disampingnya manakala ia memainkan organ untuk lagu-lagu gereja.
Di tahun 1972, pemerintah menugaskana Pak Simbolon ke Rusia untuk menjabat sebagai Kepala Sekolah Indonesia Moskow (SIM). Pak Simbolon lalu memboyong keluarganya kesana. Selama tinggal di Moskow, Ade melanjutkan les pianonya dengan guru Rusia, Edmon Euhin. Tak hanya piano yang dia pelajari dari gurunya itu. “ Saya juga diajarkan Edmon Euhin bagaimana memainkan alat musik akordion, “ kata Ade bertutur tentang masa kecilnya di Rusia.
Masa itu masih membekas kuat dalam ingatannya hingga kini. Ia banyak mendapat kesempatan menonton konser musik klasik, kadang balet dan opera, di gedung pertunjukan Kremlin atau di Bolshoi Teater. Di Moskow, Ade pun berteman dengan Chandra Darusman (musisi jazz Indonsia kini tinggal di Swiss) dan Dian HP (kini salah satu musisi pop
Tahun 1976, selesai tugasnya, pak Simbolon dan keluarganya kembali ke
Maka mulailah Ade mencari-cari informasi dan mengajukan lamaran belajar musik ke luar negeri. Lalu lamarannya pada Wisconsin Conservatory of Music diterima. Lembaga pendidikan itu juga memberinya beasiswa penuh. Kuliah di Universitas
Kemudian selama musim panas 1985 dan 1986, dia menerima beasiswa untuk belajar dalam “Summer Camp” di Adamant Music School,
Tentang pengalaman yang mengesankan selama kuliah, Ade punya cerita. Waktu itu seorang teman Wayne Cranell akan maju ujian untuk meraih gelar master dalam bidang vokal. Ia seorang penyanyi tenor. Ade ditunjuk untuk mengirigi sahabatnya itu saat ujian nanti. Berbulan-bulan mereka berlatih bersama. Beberapa hari menjelang ujian Ade bermain Squash, sejenis tenis tapi dimainkan dalam kamar tertutup, di kampus. Saat itu, tiba-tiba tangan kanannya keseleo parah. “ Besok paginya saat saya bangun saya enggak bisa menggerakkan tangan kanan ini dan sudah biru semua. Saya bawa ke dokter, dan dokter bilang ada jaringan tangan yang robek dan saya diharuskan untuk digips hingga 6 bulan kedepan, “ tutur Ade. Maka ketika hal itu dia sampaikan pada temannya
Ade lalu memutuskan untuk tetap mendampingi sahabatnya itu maju ujian vokal. Meski ia tahu hal itu berisiko tinggi bagi tangannya. “ Saya coba pegang piano ketika di belakang panggung. Sakitnya luar biasa, seperti ada pisau menusuk jari kanan saya. Tapi show must go on. Tiba waktunya kami tampil. Main lagu pertama keringat dingin saya sudah mengucur karena menahan sakitnya. Saya berdoa supaya Tuhan menjamah tanganku, “ lanjut Ade mengurai pengalamannya itu. Dan beberapa waktu berselang dia sudah bisa memainkan pianonya selama satu jam tanpa henti mengiringi sahabatnya itu. Hasilnya, sahabatnya lulus dan meraih gelar master dalam bidang vokal.
Dari Sebastian Bach Hingga Musik Kamar
Namun diluar komponis, siapakah pianis dunia yang ia kagumi selain menjadi sumber inspirasi baginya ?” Untuk pianis wanita, Ade menyebutkan nama Martha Argerich (Jerman) dan Alicia de Larocha (Spanyol). Mereka pianis wanita tapi mainnya seperti laki-laki. “ Dan kalau mereka main, bila kita tutup mata maka kita enggak akan tahu bahwa itu pemain wanita. Itu luar biasa. Tidak hanya tekniknya saja. Interpretasinya juga. Enggak ada yang bisa maen seperti mereka. Kalau orang mau maen lagu-lagu Spanyol kiblatnya pasti ke Alicia de Larocha, “ tegas Ade. Untuk pianis pria dia menyebut nama Horowitz, selain Rubinstein dan Radu Lupu.
Selain tetap bermusik, sejak tahun 2003 Ade menjadi pengajar senior di Jakarta Concervatory of Music (Konservatori Musik Jakarta). Dalam menjalankan perannya sebagai guru, keinginan Ade tampaknya sederhana saja. Yakni mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana bermain piano secara benar. Bagi Ade mengajar itu berbagi ilmu. Kadang mengasyikkan tapi kadang kala bisa juga membuatnya frustrasi. Misalnya ketika ia harus mengajar seorang murid yang tidak berbakat namun orangtuanya ambisius supaya anaknya bisa bermain piano. Kasus seperti ini lumayan sering dia hadapi.
Di Konservatori Musik Jakarta setiap orang boleh belajar musik klasik tanpa mengenal batasan umur. Sehingga di sekolah musik ini, Ade memiliki murid baik yang berusia tua maupun kaum muda remaja. Di sekolah musik ini belajar musik klasik bukan lagi dominasi kaum menengah ke atas. Artinya, biaya sekolah musik disini masih relatif terjangkau oleh orang kebanyakan.
Melalui sekolah musik ini pula Ade sering tampil dalam berbagai formasi Chamber Music Series (Musik Kamar). Ia merasa kinilah saatnya mewujudkan sesuatu yang menjadi obsesinya sejak dulu. Menjadi bagian dari formasi Musik Kamar. “ Orang bilang kalao jadi pemain chamber music itu second class. Pada hal enggak. Sama susahnya. Hanya bedanya, kalo solo semua berada di kita. Soal materi sama sulitnya. Cuma yang solo itu
Masih Sering Berbahasa Batak
Namun Ade cukup senang melihat makin bertumbuhnya group musik Batak tradisional. “ Menurut saya itu baik sekali, sangat membanggakan dan harus dipelihara serta ditampilkan dalam berbagai kesempatan, “ demikian Ade, wanita Batak yang telah memilih jalan hidupnya sebagai pemusik ****
* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah budaya TAPIAN, edisi April 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar