Didongengkan kembali oleh : Sahala Napitupulu
Demikianlah, pada suatu kesempatan di siang hari, Sampuraga bersama majikannya tengah beristirahat dibawah sebuah pohon rindang. Sang majikan senang dengan pekerjaan Sampuraga. Dia pun sudah menganggap Sampuraga seperti keponakannya, sementara Sampuraga pun memanggilnya Paman. Mereka baru selesai menuai padi. Panen telah selesai.
“ Sampuraga, “ ujar sang Paman padanya ketika mereka sedang makan siang. “ Saya lihat usiamu masih muda dan perjalanan hidupmu masih panjang. Demi masa depanmu, sebaiknya kamu pergi merantau. Keluarlah dari kampung ini, “ katanya seraya menatap Sampuraga.
“ Kemana saya akan pergi, Paman ? “ sahut Sampuraga bersemangat. Matanya berbinar. Keinginan itu telah lama ia pendam, sesungguhnya. Diam sejenak.
“ Pergilah ke sebuah negeri bernama Mandailng. Itu adalah negeri yang sangat subur dan penduduknya hidup makmur. Di situ orang sangat mudah mendapat uang, karena tanahnya memiliki kandungan emas. Penduduk Mandailing hidup makmur dengan cara mendulang emas di sungai, “ jelas sang Paman kemudian. Mata Sampuraga semakin berbinar-binar. Apa yang baru saja dia dengar semakin melambungkan impiannya.
“ Saya sudah lama bercita-cita untuk merantau,Paman. Sudah lama ingin mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu, suatu hari nanti, “ jawab Sampuraga sungguh-sunguh.
“ Sungguh cita-citamu mulia. Kamu ingin berbakti pada ibumu, ingin membahagiaan ibumu, Allah pasti meluruskan jalanmu, “ puji sang Paman.
“ Bu, Sampuraga ingin merantau ke Mandailing untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, “ kata Sampuraga mengutarakan niatnya pada sang Ibu. Orangtua itu terperanjat mendengar. Tapi, hanya sesaat.
“ Kemanakah gerangan anakku akan pergi merantau ? “ sambung sang Ibu.
“ Ke negeri Mandailing, Bu. Paman lah yang memberi tahu Sampuraga, negeri Mandailing itu sangat makmur, “ jelas Sampuraga kepada Ibunya.
“ Baiklah, anakku. Pergilah. Meskipun ibu sangat khawatir karena usia Ibumu yang sudah semakin renta. Ibu khawatir kalau Ibu nanti tidak bisa melihatmu lagi. Tapi, Ibu tak bisa melarangmu, karena itu demi masa depanmu. Maafkan Ibu, karena selama ini Ibu tak pernah membahagiakan hidupmu, anakku, “ kata Ibunya dengan suara lirih.
“ Terimakasih, Bu. Sampuraga berjanji, jika sudah berhasil dan Sampuraga menjadi kaya, saya akan menjemput Ibu. Doakanlah Sampuraga, Bu, “ ujarnya dalam pelukan sang Ibu.
“ Pasti, anakku. Pasti Ibu akan doakan supaya Allah memberkati niatmu, “ jawab sang Ibu perlahan. Setelah mendapat restu dari ibunya, Sampuraga segera mempersiapkan bekal perjalanan.
Saat itu matahari pagi bersinar cerah. Kicau burung dari pohon-pohon terdengar riuh. Sampuraga telah meninggalkan Padang Bolak. Ibunya melepaskan kepergian Sampuraga dengan tetesan air mata diantara doa-doanya kepada Tuhan.
Setelah beberapa hari perjalanan, Sampuraga tiba di kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia terpesona melihat negeri itu. Penduduk disitu ramah-ramah. Mereka masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah, beratapkan ijuk. Sebuah istana tampak berdiri megah di tengah
Sampuraga segera melamar pekerjaan. Ia diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya raya. Sampuraga selalu bekerja dengan sungguh-sungguh. Ia pun jujur dalam hal keuangan. Sudah berkali-kali sang majikan menguji kejujurannya, dan terbukti ia memang pemuda yang bisa dpercaya. Karena itulah, pada suatu hari, majikannya memberinya modal untuk membuka usaha sendiri.
Hari-hari selanjutnya, Sampuraga mulai mandiri dalam mengelola usaha dagangnya. Dan Tuhan tidak mengabaikan doa-doa yang dipanjatkan oleh Ibunya dari Padang Bolak. Tuhan memberkahi usahanya. Sehingga dalam waktu yang singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang dia peroleh, tidaklah ia habiskan, melainkan ia tambahkan untuk modal usahanya. Sehingga dagangan Sampuraga kian berkembang. Namanya pun mulai dikenal sebagai pengusaha muda yang kaya raya. Sang majikan sangat senang dengan keberhasilan Sampuraga. Tidak hanya itu. Ia berkeinginan untuk menikahkan Sampuraga denga putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.
“ Sampuraga, engkau memang pemuda yang jujur. Dan sekarang engkau telah menjadi pemuda yang kaya raya karena usahamu sangat berkembang. Maukah engkau menjadi menantuku ? “ tanya sang majikan dalam sebuah percakapan dari hati ke hati. Sampuraga tentu tak menampik, karena ia pun telah lama jatuh hati pada putri majikannya itu.
“ Dengan rasa hormatku, hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu. Sebab sesungguhnya hamba pun telah lama menaruh hati padanya, “ sambut Sampuraga dengan hati berbunga-bunga. Mereka kemudian saling diam. Beberapa saat saling memandang. Saling tersenyum.
Lalu pernikahan akan dilaksanakan sesuai dengan rencana. Dilangsungkan selama tujuh hari. Pesta digelar secara besar-besaran sejalan dengan adat Mandailing. Puluhan ekor kerbau dan kambing akan disembelih untuk jamuan makan. Gordang Sambilan akan ditabuh selama hari pesta untuk menghibur para undangan dan mengajak mereka manortor.
Berita tentang rencana pernikahan Sampuraga yang meriah itu tersiar juga ke Padang Bolak. Ibu Sampuraga, perempuan tua renta itu, hampir tak percaya dengan apa yang dia dengar. Mengapa Sampuraga tak datang kepadanya dan memberi kabar ? Sudah lupakah ia pada Ibunya ? Wanita tua itu terpana dalam kesendirianya. Airmatanya berderai. Ia menangis karena kerinduannya melihat Sampuraga telah lama ia pendam. Ia rindu untuk bertemu dengan Sampuraga. Ia ingin melihat wajah anaknya, yang tiap malam ia bayangkan dalam doa-doanya.
Setelah mempersiapkan perbekalan, esok harinya berangkatlah sang Ibu ke negeri Mandailing untuk menyaksikan pernikahan Sampuraga dengan berjalan kaki. Dengan beban kerinduan yang teramat sangat, ia menyusuri hutan-hutan Tapanuli Selatan.
Beberapa hari kemudian, ia tiba di kerajaan Pidoli. Tampak kemeriahan tengah berlangsung. Gordang Sambilan ditabuh bertalu-talu. Di pelaminan tampak Sampuraga bersanding dengan putri yang cantik jelita. Semua bersuka cita. Tapi, tidak jauh dari situ, seorang perempuan tua terus menatapnya. Ia ingin memastikan. Dan kini ia percaya, bahwa yang duduk di pelaminan itu adalah Sampuraga, anak kandungnya. Oleh rasa rindunya yang sangat mendalam, perempuan tua itu segera berteriak memanggil nama anaknya.
“ Sampuraga, anakku, “ dia berseru. Semua menoleh kepada sumber suara itu. Sampuraga terkejut. Undangan terperanjat. Sampuraga mengenal suara itu.
“ Tidak mungkin itu suara Ibuku, “ katanya dalam hati. Perempuan itu bergegas mendekatinya. Ia ingin memeluknya. Tapi, Sampuraga menahannya.
“ Siapa engkau perempuan tua ? “ Tanya Sampuraga dengan wajah memerah.
“ Aku Ibumu, Sampuraga. Peluklah Ibumu ini, nak. Ibu sudah sangat rindu padamu, “ perempuan tua itu mengulurkan tangannya sekali lagi untuk memeluk Sampuraga. Wajah Sampuraga merah membara. Ia akan sangat malu pada para undangan yang hadir jika mereka tahu Sampuraga punya Ibu yang demikian buruk dan tua renta. Karena itu ia menolaknya.
“ Tidak. Kamu bukan Ibuku. Ibuku telah lama mati dan wajah Ibuku pun tidak seperti kamu jeleknya, “ ketus Sampuraga menampik. Tidak hanya itu. Sampuraga kemudian memanggil penjaga keamanan pesta dan menyuruh mereka supaya mengusir perempuan itu.
“ Sampuraga, anakku. Kenapa engkau melupakan Ibumu ? Akulah yang melahirkanmu, “ ujar sang Ibu dengan derai air mata. Betapa ia kecewa, karena Sampuraga, anaknya, telah menolaknya. Bahkan mengusirnya. Semua undangan yang menyaksikan ikut terharu. Namun, tak seorangpun berani menengahi, karena tak seorang pun bisa memastikan kebenaran pengakuan perempuan tua itu.
Ibu yang
Tak lama, langit tiba-tiba gelap. Petir menggelegar. Lalu hujan deras tertumpah. Seluruh yang hadir dalam pesta berhamburan, berlari menyelamatkan diri. Sedangkan tempat pesta itu kemudian tenggelam, berubah menjadi kolam air panas. Kolam penanda pendurhakaan itu kemudian bernama Sampuraga. Hingga hari ini, kolam itu menjadi salah satu tempat pariwisata di daerah Mandailing, Tapanuli Selatan. Agaknya, dia juga menjadi tempat merenung untuk tidak mengulang tabiat buruk si Sampuraga, tempat memuja kemuliaan bagi semua perempuan yang menjadi Ibu kita.
* Tulisa ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah TAPIAN, edisi Desember 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar