Rabu, 17 Desember 2008

Viky Sianipar, Pemuja Batak setengah mati !




By Sahala Napitupulu.

Perkenalkan, namaku Viky Sianipar. Ya, Sianipar ! Aku memang Batak. Tak terbayangkan sepuluh tahun yang lampau yang punya nama begitu percaya diri untuk memperkenalkan diri seperti itu. Dan dengan bangga pula menyebutkan marganya.

Viky lahir dan dibesarkan di perkampungan orang Betawi. Didalam gang sempit dengan rumah kecil-kecil dan saling berdempetan di wilayah Manggarai, Jakarta. Bahasa pengantar sehari-hari yang berlaku di rumahnya adalah bahasa Indonesia. Ibunya orang Sunda, tetapi pandai sekali marhata Batak dalam bahasa Batak. Ayah dan ibunya berbahasa Batak kalau ada hal yang ingin mereka rahasiakan, tak ingin diketahui anak-anak.

“ Karena keterbatasan dana orangtua pada waktu itu, aku disekolahkan di satu sekolah dasar dekat rumah, yang mayoritas murid-muridnya penduduk sekitar. Tidak ada orang Bataknya sama sekali, “ kata Viky. Teman-temannya sering mengejek Viky kecil sebagai orang Batak dengan konotasi negatif. Awalnya dia cuek saja. Tapi, lama-lama dia jengkel juga, namun tak tahu harus berbuat apa. Sementara pengetahuannya tentang Batak amat terbatas.

“ Yang kutahu tentang Batak cuma pesta Bona Taon yang lama dan membosankan. Cara bicara saudara-saudara dari tanah Batak yang keras dan kasar. Pesta adat perkawinan yang penataan makanannya jorok, membuatku mual setiap kali menghadirinya. Jadi apa yang dapat kubanggakan dari Batak untuk bikin teman-temanku iri ? “ tanya musikus muda itu, dan dia jawab sendiri, “ Enggak ada..!” Karena itu, dia sempat membenci takdirnya terlahir sebagai Batak, sehingga masa itu dia sengaja tidak mau mencantumkan marga Sianipar dibelakang namanya.

Viky sejak kecil telah bersentuhan dengan dunia musik. Dia mulai belajar musik klasik tahun 1982 di Yayasan Pendidikan Musik, yang terletak sekitar satu kilo dari rumahnya. Malang, oleh guru-gurunya dia dianggap tidak becus dan kemudian harus drop out.

Waktu itu, baginya belajar musik klasik sangat membosankan. Dia tergila-gila dengan The Beatles, kelompok dari Inggris yang menggoyang dengan musik-musik pop yang merebut hati anak-anak muda di seluruh dunia. Sudah tak cocok dengan musik klasik, Viky juga tidak kepingin mendengar lagu-lagu Indonesia. Apalagi musik nenek moyangnya, Batak. Dia penggemar fanatik The Beatles, yang lain seakan tiada. “ Kayaknya haram dengar musik yang lain kecuali The Beatles, “ katanya mengenang.

“ Enggak tahu kenapa, aku enggak senang lagu Indonesia. Buat aku kampungan, gitu lho. Apalagi lagu-lagu Batak. Makanya, artis-artis Indonesia tahun 90-an ke belakang banyak yang tidak aku kenal, “ sambungnya pula. Selain The Beatles, dia juga kesengsem pada kelompok musik Queen, Police, Duran Duran, David Foster, Toto hingga Genesis.

Mencari Roh yang Hilang

Pendidikan formalnya dia tempuh di SD Budi Asih tahun 1988. Melanjut ke SMP St.Theresia, selesai tahun 1991. Lulus Sekolah Menengah Atas St.Theresia tahun 1995, setelah satu kali tinggal kelas. Setelah lulus sekolah menengah atas, Viky masih malu mengaku Batak. Pernah dia mengeker seorang cewek, tapi begitu tahu cewek itu boru Batak, dia pasang kuda-kuda. Langsung mundur. Viky adalah anak Batak yang sedang terlepas dari akarnya.

Dalam perjalanan waktu, sebagai seorang pengusaha, orangtuanya sukses. Kesempatan pun terbuka buat Viky untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Dia studi bahasa Inggris di Berkeley, sebuah kota kecil di Amerika Serikat. Sambil belajar bahasa, dia kursus memetik gitar elektrik pada George Cole, salah seorang murid terpenting Joe Satriani, gitaris tersohor Amerika keturunan Italia.

Titik balik jalan hidup Viky jatuh di tahun 2001. Dari seorang pembenci dia berbalik menjadi pemuja setengah mati. Ceritanya, waktu itu MS Production perusahaan rekaman milik ayahnya, dimana Viky duduk sebagai musik director-nya, menggelar konser musik “ Save Lake Toba “, bekerja sama dengan Yayasan Perhimpunan Pecinta Danau Toba. Konsep konser ini menyuguhkan lagu-lagu Batak yang bisa merangkul kaum muda.

Sejak itu, kecintaannya terhadap Batak mulai tumbuh, meski dia merasa belum menemukan “ roh “ kebatakannya. Baru pada bulan Mei 2007, Viky merasa “ dilahirkan kembali sebagai putera Batak “ ketika dia berkunjung ke Sianjur Mula-Mula dan naik ke Pusuk Buhit, mendaki bukit sakral itu seperti mau mencari roh yang hilang. Di dalam legenda, Pusuk Buhit dilukiskan sebagai singgasana si Raja Batak diturunkan dari langit oleh Ompu Mula Jadi na Bolon ( Allah Pencipta Alam Semesta ).

Perjalanann ziarah ke Pusuk Buhit itu agaknya dirasakannya sentimental, namun benar-benar merubah Viky dalam melihat Batak dan budayanya. Dia menjadi sangat “ bangga terlahir sebagai orang Batak. “ Dengan teguh dia katakana : “ Ternyata Batak itu merupakan salah satu suku bangsa yang mempunyai peradaban paling tinggi di dunia. Kekayaan peradaban itu bisa kita lihat dari seni budayanya. Bangsa yang memiliki peradaban tinggi tidak hanya memikirkan soal perut saja, tapi juga seni, filosofi dan ilmu-ilmu lainnya. Dan itulah Batak ! “ katanya meyakinkan.

Agama Masalah Pribadi

Di Batak, katanya, orang bisa menyaksikan seni ukir gorga, seni ulos. Dan jangan lupa, Batak mempunyai aksara sendiri. “ Tetapi, yang luar biasa lagi buat saya adalah sistem kekerabatan Dalihan na Tolu. Nenek moyang kita dahulu sudah bisa membuat rumusan bagaimana harus bersikap dari yang satu kepada yang lain dengan mengacu pada Dalihan na Tolu, “ Viky menguraikan.

Menunjukkan kebijakannya, Viky mengemukakan bahwa orang Batak dalam lingkup modernisasi seharusnya tidak kehilangan jati diri. Namun, kenyataan, katanya, banyak orang Batak tercerabut dari akar budaya. Dan sebagian yang lain keliru menafsirkan modernisasi.

“ Mereka menganggap modernisasi itu adalah westernisasi. Itu yang pertama. Yang kedua, mereka melihat budaya Batak itu hanya sebatas pesta adat. Dalihan na Tolu itu seakan-akan hanya berlaku disitu, di mana letak Hula-Hula, Boru dan dongan Tubu baru terlihat disitu. Sehingga banyak anak muda sekarang tidak tertarik untuk belajar budaya Batak, karena yang dinformasikan kepada mereka budaya Batak itu ya sebatas itu saja, “ katanya menyayangkan.

Menurut Viky, penyumbang terbesar sehingga terjadinya degradasi budaya Batak adalah masuknya agama Kristen maupun Islam. Bukan masuknya para misionaris ke tanah Batak yang menjadi soal, tetapi penerapan agama itu yang terlalu berlebihan, sehingga banyak budaya Batak yang harus hilang, terperangkap ke dalam dogma-dogma agama tersebut. Viky memberi contoh bentuk bangunan gereja yang semua harus sama dengan yang ada di Barat.

“ Tidak boleh ada gorga, pengiring ibadah harus organ, tidak boleh ada taganing, tidak boleh ada sarune dan lain-lain. Kontributor kedua terbesar bagi degradasi budaya Batak adalah imbas budaya Barat. Saya lebih setuju kalau soal beragama itu sebagai masalah pribadi dan tidak disangkut pautkan dengan budaya lokal, “ katanya coba memberikan pandangan yang terdengar agak filosofis.

Viky Sianipar, yang lahir 26 Juli 1976, menikah dengah Deasy Puspitasari tahun 2004. Pernikahan itu menganugerahinya Metasha Inspira Sianipar, 3 ½ tahun dan Mattheuw Putra Sianipar, 2 ½ tahun. Yang berbahagia bukan hanya mereka berdua, tetapi juga ompung kedua anak mereka yang manis itu ; Monang Sianipar dan Elly Rosalina Kusuma boru Harianja. Juga ketiga saudara Viky ; Sahat Sianipar, Bismark Sianipar dan tria sianipar.

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah budaya Batak, TAPIAN, edisi Juli 2008.

Tidak ada komentar: