Rabu, 17 Desember 2008

Viky Sianipar, Pemuja Batak setengah mati !




By Sahala Napitupulu.

Perkenalkan, namaku Viky Sianipar. Ya, Sianipar ! Aku memang Batak. Tak terbayangkan sepuluh tahun yang lampau yang punya nama begitu percaya diri untuk memperkenalkan diri seperti itu. Dan dengan bangga pula menyebutkan marganya.

Viky lahir dan dibesarkan di perkampungan orang Betawi. Didalam gang sempit dengan rumah kecil-kecil dan saling berdempetan di wilayah Manggarai, Jakarta. Bahasa pengantar sehari-hari yang berlaku di rumahnya adalah bahasa Indonesia. Ibunya orang Sunda, tetapi pandai sekali marhata Batak dalam bahasa Batak. Ayah dan ibunya berbahasa Batak kalau ada hal yang ingin mereka rahasiakan, tak ingin diketahui anak-anak.

“ Karena keterbatasan dana orangtua pada waktu itu, aku disekolahkan di satu sekolah dasar dekat rumah, yang mayoritas murid-muridnya penduduk sekitar. Tidak ada orang Bataknya sama sekali, “ kata Viky. Teman-temannya sering mengejek Viky kecil sebagai orang Batak dengan konotasi negatif. Awalnya dia cuek saja. Tapi, lama-lama dia jengkel juga, namun tak tahu harus berbuat apa. Sementara pengetahuannya tentang Batak amat terbatas.

“ Yang kutahu tentang Batak cuma pesta Bona Taon yang lama dan membosankan. Cara bicara saudara-saudara dari tanah Batak yang keras dan kasar. Pesta adat perkawinan yang penataan makanannya jorok, membuatku mual setiap kali menghadirinya. Jadi apa yang dapat kubanggakan dari Batak untuk bikin teman-temanku iri ? “ tanya musikus muda itu, dan dia jawab sendiri, “ Enggak ada..!” Karena itu, dia sempat membenci takdirnya terlahir sebagai Batak, sehingga masa itu dia sengaja tidak mau mencantumkan marga Sianipar dibelakang namanya.

Viky sejak kecil telah bersentuhan dengan dunia musik. Dia mulai belajar musik klasik tahun 1982 di Yayasan Pendidikan Musik, yang terletak sekitar satu kilo dari rumahnya. Malang, oleh guru-gurunya dia dianggap tidak becus dan kemudian harus drop out.

Waktu itu, baginya belajar musik klasik sangat membosankan. Dia tergila-gila dengan The Beatles, kelompok dari Inggris yang menggoyang dengan musik-musik pop yang merebut hati anak-anak muda di seluruh dunia. Sudah tak cocok dengan musik klasik, Viky juga tidak kepingin mendengar lagu-lagu Indonesia. Apalagi musik nenek moyangnya, Batak. Dia penggemar fanatik The Beatles, yang lain seakan tiada. “ Kayaknya haram dengar musik yang lain kecuali The Beatles, “ katanya mengenang.

“ Enggak tahu kenapa, aku enggak senang lagu Indonesia. Buat aku kampungan, gitu lho. Apalagi lagu-lagu Batak. Makanya, artis-artis Indonesia tahun 90-an ke belakang banyak yang tidak aku kenal, “ sambungnya pula. Selain The Beatles, dia juga kesengsem pada kelompok musik Queen, Police, Duran Duran, David Foster, Toto hingga Genesis.

Mencari Roh yang Hilang

Pendidikan formalnya dia tempuh di SD Budi Asih tahun 1988. Melanjut ke SMP St.Theresia, selesai tahun 1991. Lulus Sekolah Menengah Atas St.Theresia tahun 1995, setelah satu kali tinggal kelas. Setelah lulus sekolah menengah atas, Viky masih malu mengaku Batak. Pernah dia mengeker seorang cewek, tapi begitu tahu cewek itu boru Batak, dia pasang kuda-kuda. Langsung mundur. Viky adalah anak Batak yang sedang terlepas dari akarnya.

Dalam perjalanan waktu, sebagai seorang pengusaha, orangtuanya sukses. Kesempatan pun terbuka buat Viky untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Dia studi bahasa Inggris di Berkeley, sebuah kota kecil di Amerika Serikat. Sambil belajar bahasa, dia kursus memetik gitar elektrik pada George Cole, salah seorang murid terpenting Joe Satriani, gitaris tersohor Amerika keturunan Italia.

Titik balik jalan hidup Viky jatuh di tahun 2001. Dari seorang pembenci dia berbalik menjadi pemuja setengah mati. Ceritanya, waktu itu MS Production perusahaan rekaman milik ayahnya, dimana Viky duduk sebagai musik director-nya, menggelar konser musik “ Save Lake Toba “, bekerja sama dengan Yayasan Perhimpunan Pecinta Danau Toba. Konsep konser ini menyuguhkan lagu-lagu Batak yang bisa merangkul kaum muda.

Sejak itu, kecintaannya terhadap Batak mulai tumbuh, meski dia merasa belum menemukan “ roh “ kebatakannya. Baru pada bulan Mei 2007, Viky merasa “ dilahirkan kembali sebagai putera Batak “ ketika dia berkunjung ke Sianjur Mula-Mula dan naik ke Pusuk Buhit, mendaki bukit sakral itu seperti mau mencari roh yang hilang. Di dalam legenda, Pusuk Buhit dilukiskan sebagai singgasana si Raja Batak diturunkan dari langit oleh Ompu Mula Jadi na Bolon ( Allah Pencipta Alam Semesta ).

Perjalanann ziarah ke Pusuk Buhit itu agaknya dirasakannya sentimental, namun benar-benar merubah Viky dalam melihat Batak dan budayanya. Dia menjadi sangat “ bangga terlahir sebagai orang Batak. “ Dengan teguh dia katakana : “ Ternyata Batak itu merupakan salah satu suku bangsa yang mempunyai peradaban paling tinggi di dunia. Kekayaan peradaban itu bisa kita lihat dari seni budayanya. Bangsa yang memiliki peradaban tinggi tidak hanya memikirkan soal perut saja, tapi juga seni, filosofi dan ilmu-ilmu lainnya. Dan itulah Batak ! “ katanya meyakinkan.

Agama Masalah Pribadi

Di Batak, katanya, orang bisa menyaksikan seni ukir gorga, seni ulos. Dan jangan lupa, Batak mempunyai aksara sendiri. “ Tetapi, yang luar biasa lagi buat saya adalah sistem kekerabatan Dalihan na Tolu. Nenek moyang kita dahulu sudah bisa membuat rumusan bagaimana harus bersikap dari yang satu kepada yang lain dengan mengacu pada Dalihan na Tolu, “ Viky menguraikan.

Menunjukkan kebijakannya, Viky mengemukakan bahwa orang Batak dalam lingkup modernisasi seharusnya tidak kehilangan jati diri. Namun, kenyataan, katanya, banyak orang Batak tercerabut dari akar budaya. Dan sebagian yang lain keliru menafsirkan modernisasi.

“ Mereka menganggap modernisasi itu adalah westernisasi. Itu yang pertama. Yang kedua, mereka melihat budaya Batak itu hanya sebatas pesta adat. Dalihan na Tolu itu seakan-akan hanya berlaku disitu, di mana letak Hula-Hula, Boru dan dongan Tubu baru terlihat disitu. Sehingga banyak anak muda sekarang tidak tertarik untuk belajar budaya Batak, karena yang dinformasikan kepada mereka budaya Batak itu ya sebatas itu saja, “ katanya menyayangkan.

Menurut Viky, penyumbang terbesar sehingga terjadinya degradasi budaya Batak adalah masuknya agama Kristen maupun Islam. Bukan masuknya para misionaris ke tanah Batak yang menjadi soal, tetapi penerapan agama itu yang terlalu berlebihan, sehingga banyak budaya Batak yang harus hilang, terperangkap ke dalam dogma-dogma agama tersebut. Viky memberi contoh bentuk bangunan gereja yang semua harus sama dengan yang ada di Barat.

“ Tidak boleh ada gorga, pengiring ibadah harus organ, tidak boleh ada taganing, tidak boleh ada sarune dan lain-lain. Kontributor kedua terbesar bagi degradasi budaya Batak adalah imbas budaya Barat. Saya lebih setuju kalau soal beragama itu sebagai masalah pribadi dan tidak disangkut pautkan dengan budaya lokal, “ katanya coba memberikan pandangan yang terdengar agak filosofis.

Viky Sianipar, yang lahir 26 Juli 1976, menikah dengah Deasy Puspitasari tahun 2004. Pernikahan itu menganugerahinya Metasha Inspira Sianipar, 3 ½ tahun dan Mattheuw Putra Sianipar, 2 ½ tahun. Yang berbahagia bukan hanya mereka berdua, tetapi juga ompung kedua anak mereka yang manis itu ; Monang Sianipar dan Elly Rosalina Kusuma boru Harianja. Juga ketiga saudara Viky ; Sahat Sianipar, Bismark Sianipar dan tria sianipar.

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah budaya Batak, TAPIAN, edisi Juli 2008.

Tamara Geraldine Bicara Ulos Batak



By Sahala Napitupulu.

Ada banyak hal menarik keluar dari celotehnya ketika diajak bicara tentang ulos Batak, meskipun kadang dengan gaya yang disampaikannya lewat canda. Itulah Tamara Geraldine, salah satu selebritis Batak kelahiran Jakarta, anak kedua dari pasangan ayah L.M.Tambunan dan ibu Y.boru Sibarani. Wajah cantik dengan senyumannya yang manis dahulu kerap kita temui di beberapa acara stasiun televisi swasta sebagai presenter. Seperti dalam acara sepakbola Liga Calcio di RCTI dan kuis hiburan Go Show di TPI, selain banyak menjadi model dan bintang iklan. Belakangan dia membuat kejutan sebagai penulis dengan menerbitkan kumpulan cerita pendeknya dalam judul lumayan panjang, “ Kamu Sadar Saya Punya Alasan Untuk Selingkuh kan Sayang “ dan buku keduanya tentang biografi penyanyi Yuni Sahara.

Ditemui di rumahnya dalam sebuah wawancara dengan Tapian (20/10), Tamara bertutur tentang seleranya terhadap ulos Batak. “ Saya enggak suka ulos yang terlalu colourfull, yang manik-maniknya terlalu banyak seperti jenis ulos Sadum. Saya suka dengan warna ulos yang redup karena mudah dikombinasikan. Menurut ompung saya, warna budaya Batak ini hanya ada tiga, yaitu merah, hitam dan putih. Saya suka ulos dengan tiga unsur warna itu saja paling dominan. Kalau sudah ada warna ungu dan segala macam warna, saya malas memajangnya, “ ujar Tamara.
Di rumahnya dia memajang sejumlah ulos Batak, terutama ulos-ulos yang punya nilai historis dalam hidupnya. Diantara koleksinya ada ulos yang sudah berusia seratus tahun lebih yang dia dapat dari warisan ompungnya. Dia menata ruang rumahnya dengan keseimbangan antara unsue Oriental dan unsur Batak sehubungan dengan suaminya sendiri berasal dari Vietnam.

Tien Thinh Pham, pengusaha asal Vietnam yang telah mempersuntingnya 7 tahun silam, oleh keluarga Tamara telah dirajaon bermarga Nainggolan Parhusip. Perkawinan antar suku bangsa ini oleh keluarga Tamara tidaklah terlalu bermasalah sejauh mereka mau diadati dengan adat Batak Toba.

“ Kalau kalian enggak diadatin, kalau suaminya enggak ada marganya, nanti kalau kalian diundang di pesta-pesta adat, kalian akan bingung mau duduk dimana, di paranak atau di parboru, “ujar Tamara menjelaskan alasan tuntutan keluarganya. Menurut Tamara, suaminya tidaklah terlalu sulit beradaptasi dengan adat budaya Batak, karena di negeri suaminya di Vietnam pun mengenal konsep Dalihan na Tolu seperti di Batak. Boleh jadi benar, karena memang ada teori mengatakan orang Sumatera Utara, khususnya orang Batak, cikal bakalnya datang dari Phunam dan Phunam itu dari Indocina. Dengan dirajaon menjadi Nainggolan Parhusip, kata Tamara lagi, suaminya jadi merasa punya keluarga besar disini terutama karena pertalian Dalihan na Tolu.

“ Cuma suamiku bilang orang Batak ini agak aneh. Orang Batak kalau bicara di pesta-pesta adat maupun acara penghiburan selalu dibuka dengan kata Jadi dan ditutup dengan kata Botima. Selalu begitu, diawali dengan kata Jadi lalu ditutup dengan Botima. Ada apa dengan 2 kata itu ? “ cerita Tamara tentang pengamatan suaminya terhadap gaya bicara orang Batak. Dia dan suami, sejauh waktu memungkinkan, kerap juga menghadiri undangan pesta-pesta Batak, bahkan pernah mangulosi.

“ Tapi itu dia, pernah ketika kami mau memberi ulos kepada mempelai, saya manortor, suami saya malah tari cha-cha, “ kata Tamara sambil tertawa.

Saat ditanya pengalaman paling emosional yang pernah dia alami berhubungan dengan ulos, Tamara menyebut tiga peristiwa. “ Pertama, pada saat menikah, saya dan suami diulosi. Kedua, pada saat anak saya Tjazkayaa Loedwigee Poetry tardidi, kami sekeluarga diulosi. Dan ketiga, pada waktu ompung meninggal, tradisinya kami harus rebutan ulos ompung, “ katanya sambil mengingat-ingat kembali.

“ Hanya saya enggak yakin, apa itu karena ulosnya atau karena momentnya, “ ujarnya menambahkan. Bagi Tamara, ulos Batak itu hanya sebuah identitas etnik saja. Identitas dari mana dia berasal. Tidak lebih. Karena itu dia tidak pernah memberhalakan. Hal ini menyinggung adanya sebagian sikap orang Batak yang sangat mengkultuskan ulos pemberian hula-hula, orangtua, ompung atau tulang.

“ Ompung dan orangtuaku memang paradat, tapi waktu mangulosi kami, mereka selalu bilang ulos ini hanya simbol saja. Tapi tetap kalian berjalan supaya diiringi Tuhan Yesus. Jadi jangan lihat ini sebagai benda yang mengikat atas kuasa yang lain, selain kasih Tuhan itu sendiri, “ kata Tamara menjelaskan sikap yang ditanamkan keluarganya dalam memandang ulos. Karena itu dia tidak pernah mau beli ulos yang dikerjakan dengan perhitungan hari-hari tertentu sehingga terkesan mistik dan berhala. Dia pun tak pernah berburu ulos secara khusus.

Menjawab pertanyaan Tapian tentang filosofi ulos baginya, Tamara merujuk apa yang pernah dia dengar. “ Ompung memetaforkan ulos itu sebagai selimut. Arti selimut, dia bisa kasih kehangatan kalau kita dingin, dia bisa menaungi kita dari hujan. Itu yang aku tahu, “ ujarnya. Dia mengakui tidak banyak mempelajari tentang sejarah dan filosofi ulos. Namun dimatanya ada keunikan orang Batak dalam memakai ulos. Misalnya ketika orang pergi ke tempat duka cita, ulos yang dikenakan berbeda dan berbeda lagi ketika mereka pergi ke tempat pesta.

Tetapi Tamara juga melihat ‘ keanehan’ para wanita Batak dalam berbusana ke pesta adat perkawinan. “ Lihat saja, dimana-mana pesta perkawinan para wanita Batak justru kebanyakan pake kebaya dan Songket Palembang. Datangnya ke pesta adat Batak tapi pakenya Songket Palembang, “ ujar Tamara menyayangkan. Menurut Tamara hal ini disebabkan belum ada perancang busana Batak yang dianggap betul-betul serius dan berhasil dalam menangani ulos sebagai produk fashion. Tamara kemudian membandingkannya dengan kain Batik Jawa.

“ Lihat Batik Jawa. Batik bisa dijadikan baju sehari-hari tapi juga bisa tampil glamour, tentu karena ada perancang busana yang serius mengerjakannya, “ ujar Tamara mengkritisi kalahnya pamor ulos dalam mode dan produk fashion. Demikian Tamara berbagi pandangannya kepada Tapian.

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah budaya Batak, TAPIAN, edisi perdana November 2007.

Kamis, 11 Desember 2008

Kolam Sampuraga


Didongengkan kembali oleh : Sahala Napitupulu


Dahulu kala di daerah Padang Bolak, Tapanuli Selatan, hiduplah seorang janda tua dan miskin bersama anak satu-satunya bernama Sampuraga. Dia pemuda rupawan, pekerja keras dan jujur. Pekerjaannya setiap hari menggarap sawah orang lain dan mencari kayu bakar di hutan. Namun, dia punya impian. Ia seringkali membayangkan dirinya sebagai pemuda yang kaya dan kelak punya istri yang cantik. Dia ingin mengubah hidupnya, menata masa depan dengan kehidupan yang cerah bahagia. Hari-hari berlalu dan impiannya itu semakin merasuk kedalam jiwanya. Sampuraga ingin segera menikmati mimpinya itu sebagai satu kenyataan.

Demikianlah, pada suatu kesempatan di siang hari, Sampuraga bersama majikannya tengah beristirahat dibawah sebuah pohon rindang. Sang majikan senang dengan pekerjaan Sampuraga. Dia pun sudah menganggap Sampuraga seperti keponakannya, sementara Sampuraga pun memanggilnya Paman. Mereka baru selesai menuai padi. Panen telah selesai.

“ Sampuraga, “ ujar sang Paman padanya ketika mereka sedang makan siang. “ Saya lihat usiamu masih muda dan perjalanan hidupmu masih panjang. Demi masa depanmu, sebaiknya kamu pergi merantau. Keluarlah dari kampung ini, “ katanya seraya menatap Sampuraga.

“ Kemana saya akan pergi, Paman ? “ sahut Sampuraga bersemangat. Matanya berbinar. Keinginan itu telah lama ia pendam, sesungguhnya. Diam sejenak.

“ Pergilah ke sebuah negeri bernama Mandailng. Itu adalah negeri yang sangat subur dan penduduknya hidup makmur. Di situ orang sangat mudah mendapat uang, karena tanahnya memiliki kandungan emas. Penduduk Mandailing hidup makmur dengan cara mendulang emas di sungai, “ jelas sang Paman kemudian. Mata Sampuraga semakin berbinar-binar. Apa yang baru saja dia dengar semakin melambungkan impiannya.

“ Saya sudah lama bercita-cita untuk merantau,Paman. Sudah lama ingin mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu, suatu hari nanti, “ jawab Sampuraga sungguh-sunguh.

“ Sungguh cita-citamu mulia. Kamu ingin berbakti pada ibumu, ingin membahagiaan ibumu, Allah pasti meluruskan jalanmu, “ puji sang Paman.

Malam itu bulan purnama menghias langit. Di sebuah gubuk tua dan reyot, tampak Sampuraga bersama ibunya tengah berbincang.

“ Bu, Sampuraga ingin merantau ke Mandailing untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, “ kata Sampuraga mengutarakan niatnya pada sang Ibu. Orangtua itu terperanjat mendengar. Tapi, hanya sesaat.

“ Kemanakah gerangan anakku akan pergi merantau ? “ sambung sang Ibu.

“ Ke negeri Mandailing, Bu. Paman lah yang memberi tahu Sampuraga, negeri Mandailing itu sangat makmur, “ jelas Sampuraga kepada Ibunya.

“ Baiklah, anakku. Pergilah. Meskipun ibu sangat khawatir karena usia Ibumu yang sudah semakin renta. Ibu khawatir kalau Ibu nanti tidak bisa melihatmu lagi. Tapi, Ibu tak bisa melarangmu, karena itu demi masa depanmu. Maafkan Ibu, karena selama ini Ibu tak pernah membahagiakan hidupmu, anakku, “ kata Ibunya dengan suara lirih. Ada keharuan teramat dalam diantara keduanya, meski tak terkatakan. Lalu, keduanya berangkulan dengan penuh kasih sayang beriring derail air mata.

“ Terimakasih, Bu. Sampuraga berjanji, jika sudah berhasil dan Sampuraga menjadi kaya, saya akan menjemput Ibu. Doakanlah Sampuraga, Bu, “ ujarnya dalam pelukan sang Ibu.

“ Pasti, anakku. Pasti Ibu akan doakan supaya Allah memberkati niatmu, “ jawab sang Ibu perlahan. Setelah mendapat restu dari ibunya, Sampuraga segera mempersiapkan bekal perjalanan.

Saat itu matahari pagi bersinar cerah. Kicau burung dari pohon-pohon terdengar riuh. Sampuraga telah meninggalkan Padang Bolak. Ibunya melepaskan kepergian Sampuraga dengan tetesan air mata diantara doa-doanya kepada Tuhan.

Setelah beberapa hari perjalanan, Sampuraga tiba di kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia terpesona melihat negeri itu. Penduduk disitu ramah-ramah. Mereka masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah, beratapkan ijuk. Sebuah istana tampak berdiri megah di tengah kota. Semua itu menandakan Mandailing memang sebuah negeri yang makmur dan sejahtera.

Sampuraga segera melamar pekerjaan. Ia diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya raya. Sampuraga selalu bekerja dengan sungguh-sungguh. Ia pun jujur dalam hal keuangan. Sudah berkali-kali sang majikan menguji kejujurannya, dan terbukti ia memang pemuda yang bisa dpercaya. Karena itulah, pada suatu hari, majikannya memberinya modal untuk membuka usaha sendiri.

Hari-hari selanjutnya, Sampuraga mulai mandiri dalam mengelola usaha dagangnya. Dan Tuhan tidak mengabaikan doa-doa yang dipanjatkan oleh Ibunya dari Padang Bolak. Tuhan memberkahi usahanya. Sehingga dalam waktu yang singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang dia peroleh, tidaklah ia habiskan, melainkan ia tambahkan untuk modal usahanya. Sehingga dagangan Sampuraga kian berkembang. Namanya pun mulai dikenal sebagai pengusaha muda yang kaya raya. Sang majikan sangat senang dengan keberhasilan Sampuraga. Tidak hanya itu. Ia berkeinginan untuk menikahkan Sampuraga denga putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.

“ Sampuraga, engkau memang pemuda yang jujur. Dan sekarang engkau telah menjadi pemuda yang kaya raya karena usahamu sangat berkembang. Maukah engkau menjadi menantuku ? “ tanya sang majikan dalam sebuah percakapan dari hati ke hati. Sampuraga tentu tak menampik, karena ia pun telah lama jatuh hati pada putri majikannya itu.

“ Dengan rasa hormatku, hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu. Sebab sesungguhnya hamba pun telah lama menaruh hati padanya, “ sambut Sampuraga dengan hati berbunga-bunga. Mereka kemudian saling diam. Beberapa saat saling memandang. Saling tersenyum.

Lalu pernikahan akan dilaksanakan sesuai dengan rencana. Dilangsungkan selama tujuh hari. Pesta digelar secara besar-besaran sejalan dengan adat Mandailing. Puluhan ekor kerbau dan kambing akan disembelih untuk jamuan makan. Gordang Sambilan akan ditabuh selama hari pesta untuk menghibur para undangan dan mengajak mereka manortor.

Berita tentang rencana pernikahan Sampuraga yang meriah itu tersiar juga ke Padang Bolak. Ibu Sampuraga, perempuan tua renta itu, hampir tak percaya dengan apa yang dia dengar. Mengapa Sampuraga tak datang kepadanya dan memberi kabar ? Sudah lupakah ia pada Ibunya ? Wanita tua itu terpana dalam kesendirianya. Airmatanya berderai. Ia menangis karena kerinduannya melihat Sampuraga telah lama ia pendam. Ia rindu untuk bertemu dengan Sampuraga. Ia ingin melihat wajah anaknya, yang tiap malam ia bayangkan dalam doa-doanya.

Setelah mempersiapkan perbekalan, esok harinya berangkatlah sang Ibu ke negeri Mandailing untuk menyaksikan pernikahan Sampuraga dengan berjalan kaki. Dengan beban kerinduan yang teramat sangat, ia menyusuri hutan-hutan Tapanuli Selatan.

Beberapa hari kemudian, ia tiba di kerajaan Pidoli. Tampak kemeriahan tengah berlangsung. Gordang Sambilan ditabuh bertalu-talu. Di pelaminan tampak Sampuraga bersanding dengan putri yang cantik jelita. Semua bersuka cita. Tapi, tidak jauh dari situ, seorang perempuan tua terus menatapnya. Ia ingin memastikan. Dan kini ia percaya, bahwa yang duduk di pelaminan itu adalah Sampuraga, anak kandungnya. Oleh rasa rindunya yang sangat mendalam, perempuan tua itu segera berteriak memanggil nama anaknya.

“ Sampuraga, anakku, “ dia berseru. Semua menoleh kepada sumber suara itu. Sampuraga terkejut. Undangan terperanjat. Sampuraga mengenal suara itu.

“ Tidak mungkin itu suara Ibuku, “ katanya dalam hati. Perempuan itu bergegas mendekatinya. Ia ingin memeluknya. Tapi, Sampuraga menahannya.

“ Siapa engkau perempuan tua ? “ Tanya Sampuraga dengan wajah memerah.

“ Aku Ibumu, Sampuraga. Peluklah Ibumu ini, nak. Ibu sudah sangat rindu padamu, “ perempuan tua itu mengulurkan tangannya sekali lagi untuk memeluk Sampuraga. Wajah Sampuraga merah membara. Ia akan sangat malu pada para undangan yang hadir jika mereka tahu Sampuraga punya Ibu yang demikian buruk dan tua renta. Karena itu ia menolaknya.

“ Tidak. Kamu bukan Ibuku. Ibuku telah lama mati dan wajah Ibuku pun tidak seperti kamu jeleknya, “ ketus Sampuraga menampik. Tidak hanya itu. Sampuraga kemudian memanggil penjaga keamanan pesta dan menyuruh mereka supaya mengusir perempuan itu.

“ Sampuraga, anakku. Kenapa engkau melupakan Ibumu ? Akulah yang melahirkanmu, “ ujar sang Ibu dengan derai air mata. Betapa ia kecewa, karena Sampuraga, anaknya, telah menolaknya. Bahkan mengusirnya. Semua undangan yang menyaksikan ikut terharu. Namun, tak seorangpun berani menengahi, karena tak seorang pun bisa memastikan kebenaran pengakuan perempuan tua itu.

Ibu yang malang kemudian diseret keluar meninggalkan tempat pesta itu. Dengan derai air mata dan luka hati yang menganga, sang Ibu kemudian berdoa. “ Ya, Tuhan, jika benar dia adalah anakku Sampuraga, berilah ia kutukan, karena ia telah mengingkari Ibu kandungnya sendiri. Tapi, jika ia bukan Sampuraga, anakku, maka selamatlah ia, “ doanya kepada Tuhan.

Tak lama, langit tiba-tiba gelap. Petir menggelegar. Lalu hujan deras tertumpah. Seluruh yang hadir dalam pesta berhamburan, berlari menyelamatkan diri. Sedangkan tempat pesta itu kemudian tenggelam, berubah menjadi kolam air panas. Kolam penanda pendurhakaan itu kemudian bernama Sampuraga. Hingga hari ini, kolam itu menjadi salah satu tempat pariwisata di daerah Mandailing, Tapanuli Selatan. Agaknya, dia juga menjadi tempat merenung untuk tidak mengulang tabiat buruk si Sampuraga, tempat memuja kemuliaan bagi semua perempuan yang menjadi Ibu kita.

* Tulisa ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah TAPIAN, edisi Desember 2008.

Si Gale-Gale, Pelipur Lara Siapa Saja


Didongengkan kembali oleh : Sahala Napitupulu.

Pada zaman dahulu kala, daerah Uluan di tanah Batak dipimpin oleh raja Rahat. Istrinya telah lama tiada. Dia raja bijaksana dan mempunyai seorang putra satu-satunya, bernama Manggale. Rakyat yang dipimpinnya hidup dengan tentram dan makmur. Sedangkan Manggale, selaku putra mahkota, dihormati karena ketangkasannya dalam berperang. Menjunjung tinggi kebenaran dan mencintai rakyat Uluan.

Namun, suatu hari terdengar kabar bahwa dihutan perbatasan Uluan telah berkumpul pasukan dari seberang. Mereka hendak menyerang dan menjarah harta kekayaan Uluan. Rakyat tampak gelisah menunggu apa yang akan terjadi. Menunggu apa yang akan diputuskan oleh raja mereka. Segera sang raja mengumpulkan penasehatnya, para tua-tua kampung, para datu, termasuk Manggale sebagai panglima perang.

“ Pasukan musuh telah masuk ke wilayah Uluan. Rakyat sudah gelisah. Rakyat Uluan menunggu keputusan saya. Berikanlah nasehat kalian, “ tutur raja setelah menjelaskan keadaan yang tengah terjadi. Mereka saling memandang. Wajah mereka diliputi ketegangan.

“ Apa pendapatmu datu Mangatas ? “ Tanya sang raja kemudian.

Sang datu diam sesaat. Ia penaseha tertua dan pertimbangannya sangat didengarkan oleh raja. Ia berpikir keras. Setelah menghela nafas panjang, sang datu menjawab. “ Musuh yang akan kita hadapi sudah terkenal tangkas dalam berperang, tangkas dalam berkuda dan ganas dalam menghunus pedang. Tapi jangan takut, karena pasukan Uluan yang dipimpin Manggale akan menang melawan mereka, “ ujar datu Mangatas dengan suara berwibawa.

Raja Rahat melayangkan pandangan kepada tua-tua kampung. Tak ada bantahan. Kemudian raja menatap putranya, Manggale. Sang putra pun tampak setuju dengan pendapat sang datu.

“ Baiklah. Dengan ini saya raja Rahat, raja Uluan menyatakan akan mengirimkan pasukan kita untuk segera berangkat melawan musuh di hutan perbatasan. Anakku Manggale akan memimpin pasukan Uluan. Kiranya berkat Debata Mulajadi Nabolon menyertai engkau dan pasukanmu, anakku, “ kata sang raja memutuskan.

Enam bulan sudah berlalu. Manggale dan pasukannya masih dihutan perbatasan berperang menghadapi pasukan musuh. Raja Rahat dan rakyat Uluan menungggu-nunggu. Tak ada yang berani masuk hutan.

Hari-hari dilalui sang raja dengan gelisah. Tapi, malam sebelumnya ia punya mimpi buruk. Ia melihat seekor burung yang sedang terbang tiba-tiba jatuh ke halaman rumahnya terkena panah seorang pemburu. Adakah ini sebuah isyarat dari Debata Mulajadi Nabolon ? Tanya sang raja memikirkan arti mimpinya itu.

Sore itu langit kelam. Raja Rahat sedang merindukan kedatangan Manggale, putranya. Tak tahan hatinya dilanda rasa rindu pada putranya itu. Tapi, tak ada kabar berita tentang keadaan sebenarnya. Apakah pasukan Uluan menang atau kalah, tak ada kepastian beritanya. Sedangkah mimpi terpanahnya seekor burung, ia tafsirkan sebagai pertanda buruk. Mungkin anakku Manggale telah tewas di hutan, pikir raja mengenai nasib putranya itu.

Sejak datangnya mimpi itu, sang raja jadi tampak termenung berlama-lama. Ia lebih suka mengurung diri di kamarnya berhari-hari. Kadang sang raja tak menyentuh makanan dan minuman. Bahkan sering tak membasuh muka atau mandi untuk menyegarkan tubuh. Rakyat Uluan cemas kalau-kalau sang raja jatuh sakit.

Sore itu langit Uluan berkabut gelap. Tua-tua kampung dengan datu Mangatas telah bersepakat untuk melihat keadaan raja mereka. Sesaat setelah mereka masuk kedalam rumah raja, betapa hati mereka bersedih. Sang raja mereka temukan dalam keadaan terbaring mengenaskan. Ia tak bisa berbicara. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya kurus dan ringkih. Tatapan matanya kosong.

Sang datu menjamah tubuh sang raja. Memeriksanya sedemikian rupa. “ Tak ada penyakit padanya. Raja kita sakit karena memikirkan Manggale, “ ujarnya. Lalu ia mengajak mereka semua keluar dari kamar sang raja untuk merundingkan cara pengobatannya. Mereka pun berunding, memikirkan bagaimana supaya raja bisa sembuh. Menghadirkan Manggale kepada sang raja, rasanya tak mungkin. Mereka tak tahu dimana sekarang Manggale dan pasukannya. Mungkin masih hidup, mungkin juga tidak. Masing-masing sibuk dengan jalan pikiran bagaimana menolong sang raja yang mereka cintai itu.

Datu Mangatas beberapa saat kemudian memberi isyarat untuk bicara. Dia menemukan ide untuk mengobati rasa rindu raja pada anaknya.

“ Kita akan membuat patung yang menyerupai Manggale. Dengan melihat patung Manggale, semoga kerinduan hati raja kita akan terobati, “ ujarnya menawarkan idenya itu. Semua terdiam. Semua larut memikirkan tentang ide membuat patung Manggale. Akhirnya mereka setuju.

“ Tapi siapa yang aka mengerjakan patungnya dan dimana akan dikerjakan ? “ tanya seorang tetua yang dipanggil ompung Binsar.

“ Saya tahu di kampung Lumbanjulu Nihuta ada orang yang pintar membuat patung manusia. Dialah yang aka mengerjakan patung Manggale. Dan nanti, bila patung itu telah selesai, supaya tampak hidup kita aka mengundang roh Manggale untuk masuk kedalam patung itu, “ tanggap datu Mangatas.

“ Bangaimana caranya supaya roh Manggale mau datang ? “ Tanya ompung Binsar.

“ Tiup Sordam dan tabuh Gondang Sabangunan. Saya akan manortor untuk memanggil roh Manggale, “ jawab sang datu. Perundingan mereka pun rampung.

Tiga bulan kemudian. Sesuai dengan petunjuk datu Mangatas, upacara memanggil roh Manggale dilakukan saat bulan purnama.

Dan saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Malam itu bulan purnama tampak seperti tersaput kabut magis. Asap dupa bertebaran disekeliling tempat upacara. Penduduk telah berkumpul. Patung Manggale ditaruh ditengah halaman. Ukuran dan tinggi patung itu tampak sama persis dengan Manggale. Mereka duduk melingkari patung Manggale. Semua hening. Mereka sedang menunggu kedatangan raja untuk masuk bersama sang datu yang akan memimpin upacara. Tak lama kemudian raja pun tiba di lokasi. Demi melihat patung Mangggale, raja segera menangis. Lama ia menatap patung itu seperti tak percaya pada penglihatannnya.

“ Manggale, anakku..” desahnya lirih, nyaris tak terdengar. Semua terharu. Beberapa saat berlalu. Datu Mangatas kemudian memberikan isyarat kepada pargonci supaya musik gondang segera ditabuh.

Mula-mula dimulai dengan tiupan Sordam. Menyusul tabuhan gondang. Sang datu mengambil tali tiga warna : merah, putih dan hitam. Mengikatkannya dikepalanya. Lalu mengenakan ulosnya. Dia masuk ketengah lingkaran. Merapal mantra memanggil roh Manggale. Dan sesaat kemudian ia pun manortor mengkuti tabuhan gondang. Semua mata menatap padanya dengan saksama. Sambil terus manortor, dia mengitari patung Manggale tujuh putaran. Dan, tiba-tiba patung itu mulai bergerak. Tidak hanya bergerak, tetapi manortor. Patung itu manortor bersama sang datu. Kemudian raja dijemput oleh sang datu dan Manggale untuk ikut manortor. Raja bangkit berdiri. Dan ia pun ikut manortor.

Pargonci terus menabuh gondang bersama peniup sordam. Rakyat Uluan, demi melihat raja telah manortor bersama patung Manggale, pun ikut bangkit berdiri. Lalu mereka manortor bersama. Mereka bergembira. Semua manortor bersama patung Mannggale hingga fajar menyingsing. Namun, “ pesta “ itu harus berhenti. Karena begitulah perjanjiannya, sebelum ayam hutan berkokok, roh Manggale harus dikembalikan ke alamnya.

Sesaat kemudian ayam hutan memang terdengar berkokok. Roh Manggale lantas terbang meninggalkan mereka. Dan patung dirinya itu pun tak dapat lagi bergerak. Rakyat Uluan lalu menyimpan kembali patung Manggale. Demikianlah raja Rahat sejenak terhibur. Dia telah bertemu dengan “ putra”nya Manggale. Sejak itu, apabila sang raja merindukan anaknya, maka upacara pemanggilan roh Manggale dilakukan kembali. Zaman silih berganti dan patung itu kemudian disebut Si Gale-gale.

Sekarang yang bisa memanggilnya tidak mesti seorang raja. Siapa saja yang berkunjung ke Tomok, di Samosir, boleh mampir ke patung Si Gale-gale dan memberikan saweran kepada penjaga patung itu. Dan manortorlah si patung.


* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah TAPIAN, edisi November 2008.

Senin, 08 Desember 2008

Dalihan na Tolu, Dimata Mereka


By.Sahala Napitupulu.

Kiri : Gibson Sihombing, 40 tahun, Kandidat Doktor ekonomi Universitas Persada Indonesia.
Kanan : Charles BonarSirait, 37 tahun, Pembawa Acara.
_________________
(Majalah budaya Batak,Tapian, pada edisi September 2008, dalam rubrik Sudut Pandang mengetengahkan tentang dinamika Dalihan na Tolu, khususnya dimata kaum muda Batak di perantauan, dalam judul Ada Perubahan Tapi Esensi Dalihan na Tolu Tak Tergoyahkan. Diantara nara sumber yang ditampilkan Tapian ada Charles Bonar Sirait dan Gibson Sihombing. Dibawah ini petikan komentar mereka.)
Gibson Sihombing :
Dalam tradisi Batak, Dalihan na Tolu merupakan sumber hukum adat yang mengatur kehidupan budaya masyarakat Batak, yaitu somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboro. Falsafah ini dipakai sebagai pedoman dalam kehidupan sosial dan tatanan adat Batak sejak orang lahir sampai meninggal dunia. Pemahaman tentang Dalihan na Tolu saya peroleh tidak hanya melalui bacaan Saya aktif dalam punguan marga, kini saya wakil sekretaris punguan pomparan Op.Mangambittua Nababan se-Jabodetabek. Sehingga saya banyak terlibat dalam menghadiri acara-acara adat Batak.
Didalam Tungku nan Tiga itu juga ada mengandung azas keadilan. Karena setiap orang Batak dapat menempati posisi sebagai hula-hula, bisa sebagai dongan tubu maupun sebagai boru. Sebuah contoh sederhananya seperti ini. Katakanlah, disebuah pesta adat perkawinan yang saya hadiri pada hari Jumat, kedudukan saya disitu sebagai pihak hula-hula. Tetapi, di hari Sabtu, di pesta adat yang lain saya hadir sebagai pihak dongan tubu. Dan di hari Minggu, dalam pesta yang lain lagi, saya hadir dalam kedudukan sebagai pihak boru. Jadi, tidak ada posisi yang permanen dalam Dalihan na Tolu. Hari ini saya bisa hula-hula, besok bisa sebagai dongan tubu dan lusa sebagai boru.
Selain itu, Dalihan na Tolu mendorong orang Batak supaya hidup bergotong- royong. Berdasarkan Dalihan na Tolu, tak ada pesta yang tidak dikerjakan secara bergotong royong. Baik pihak hula-hula, dongan tubu maupun boru, punya peran dan tanggung jawab kerja masing-masing. Pihak hula-hula (dan juga tulang) diperlakukan dengan hormat oleh pihak pelaksana adat, mulai dari posisi duduk, cara penyampaian tutur kata sampai pada hidangan makanan dan minuman. Lain lagi pihak parboru. Mereka akan mengambil posisi sebagai “pembantu” yang mengurusi urusan dapur. Sedangkan pihak dongan tubu akan menunjukkan sikap gotong-royong dengan mengumpulkan tumpak(sumbangan) untuk dipergunakan oleh pelaksana pesta adat. Itulah nilai positif yang membuat Dalihan na Tolu bisa eksis hingga kini ditengah gempuran budaya modern.
Namun, menurut pengamatan saya, dalam pelaksanaannya sekarang, hubungan hula-hula-boru mulai bergeser. Artinya, tidak sesakral pada mulanya. Kini pihak boru tidak lagi menganggap pihak hula-hula sebagai sumber berkat. Seperti pandangan para leluhur kita dahul;u, berkat itu datang melalui perantara hula-hula. Tapi, kini tidak lagi. Hal ini dipengaruhi, terutama, oleh faktor menguatnya pengajaran agama Kristen ditengah masyarakat Batak.
Charles Bonar Sirait :
Walau modernitas telah membawa orang sangat maju (individualistis), namun manusia tetap merupakan mahluk sosial yang memiliki kebutuhan akan berkomunikasi. Dalihan na Tolu pada konteks ini merupakan falsafah yang tepat untuk dapat membuat manusia tetap akrab dan memiliki hubungan batin.
Dalihan na Tolu ditengah gempuran budaya modern ternyata masih tetap terpelihara. Pesta-pesta adat Batak masih terselenggara oleh halak hita di perantauan. Ditengah gempuran budaya modern, dia tetap bertahan, karena adanya kekuatan nilai didalamnya. Nilai-nilai itu antara lain kekerabatan, hagabeon, hamoraon,uhum dan ugari, pangayoman dan marsisarian.
Nilai hagabeon itu bermakna harapan panjang umur dan beranak cucu yang banyak. Nilai hamoraon (kehormatan) terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan materi pada diri seseorang. Nilai uhum (hukum) dan ugari (kebiasaan) tercermin dalam penerapan dalam menegakkan keadilan dan kesetiaan pada janji. Nilai pangayoman bermakna perlindungan. Sedang marsisarian artinya saling mengerti, saling membantu.
Dari semua nilai itu, nilai kekerabatanlah ditempat paling utama. Nilai-nilai luhur dari budaya Batak tidak luntur, walau zaman berubah dengan cepat. Karena ada aspek ketertautan antar manusia yang tidak dapat tergantikan. Memang, sesuai dengan perkembangan zaman, penerapan Dalihan na Tolu dalam pesta-pesta adat sudah perlu disederhanakan,agar waktu lebih efisien. Seperti diketahui, karena soal waktu yang tidak efisien, banyak pasangan muda Batak malas menghadiri pesta-pesta adat Batak.
Yang penting bagaimana nilai-nilai luhur dari Dalihan na Tolu itu lebih disosialisasikan dan dapat berperan nyata dalam perkembangan mental generasi muda.
Dalam bahasa Batak hanya anak lelaki yang disebut anak, sedangkan anak perempuan disebut boru. Lelaki langsung memakai marganya sesudah nama kecilnya. Dalam adat Batak, sesuai dengan Dalihan na Tolu, marga memegang peran utama. Istilah kekerabatan, seperti dongan sabutuha atau dongan tobu, pihak uhula-hula maupun pihak boru didasarkan pada hubungan marga-marga. Karena itu Dalihan na Tolu itu bisa menembus sekat-sekat agama.

Kamis, 04 Desember 2008

Melancong Menemui Si Raja Batak


By Sahala Napitupulu.

Berbaur dengan orang-orang yang datang menyaksikan Danau Toba kalau tak menyeberang ke Pulau samosir, rasanya kurang syor. Anda bisa pilih Tuk-Tuk atau Tomok, dua desa paling dekat dengan Parapat yang menjadi pusat pesta. Terletak 1000 meter diatas permukaan laut, pulau Samosir, dengan luas 250.000 ha itu, diperkirakan telah ada sejak ribuan tahun silam, yang muncul sebagai akibat dari letusan supervulcano.

Setelah letusan maha dahsyat tersebut terbentuklah kaldera yang luas dan diisi oleh air. Tekanan magma yang tidak menemukan jalan keluar menyebabkan munculnya daratan ditengah kaldera yang sudah tergenang air. Begitulah konon lahirnya pulau Samosir. Para penyair, pemusik dan pelukis berulang-ulang coba mengabadikan pesona keindahan Danau Toba dan Samosir, namun tak pernah menyamai kecantikannya yang nyata terhampar di depan mata.

Kalau sudah mendarat di Samosir, akan terasa keunikan Danau Toba yang mungkin tak ditemukan dibelahan dunia lain. Di Samosir terdapat dua danau kecil, Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang, dan muncullah julukan " danau diatas danau ". Kedua danau cilik itu berada di dua kecamatan yang berbeda. Sidihoni sejauh delapan KM dari Pangururan, sedangkan Aek Natonang dekat dengan Simanindo.

Jangan lupa singgah ke " Aek Hangat " di kawah Pusuk Buhit, di Kecamatan Sianjur Mula-mula. Air suam-suam kuku disitu dipercaya mujarab untuk mengobati penyakit kulit.

Pusuk Buhit diyakini sebagai tempat asal-muasal orang Batak. Pusuk Buhit merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian lebih dari 18oo meter dari permukaan Danau Toba. Menurut legenda, si Raja Batak, diturunkan dari langit dan direbahkan di Pusuk Buhit oleh Ompu Mula Jadi Na Bolon (Allah pencipta semesta). Tetapi, ada pula yang mempercayai teori yang mengatakan bahwa si Raja Batak itu berasal dari Thailand yang datang melalui Semenanjung Malaya dan tiba di Sianjur Mula-mula. Teori yang lain menyebutkan si Raja Batak itu berasal dari India, merembes melalui daerah Barus atau Alas Gayo dan sampai di Danau Toba. Entahlah, terserah Anda yang mana yang benar.

Yang jelas, sebagai tujuan wisata, Samosir sudah lama dikenal dan dikagumi para turis. Panorama alam, wisata spiritual dan budaya hingga wisata air menunggu Anda dengan tangan terbuka lebar. Untuk mencapai Samosir memang cukup makan waktu. Kalau dari Jakarta penerbangan ke Medan memakan waktu dua jam. Dilanjutkan dengan perjalanan darat hampir 200 KM dari Medan ke Parapat yang memakan waktu empat jam.

Membuka Peti Pusaka

Dari Parapat ke Samosir, Anda dapat menumpang ferry dari dermaga Ajibata atau Tigaraja. Tuk-Tuk bisa dicapai sekitar 30 menit. Di desa ini, penginapan dan homestay tampak seperti bertengger di tebing Danau. Sedangkan desa Tomok 45 menit jauhnya. Selama pelayaran di air Danau yang tenang tampak perbukitan yang membentang di daratan Samosir.

Pulau Samosir juga dapat dicapai melalui jalan darat. Lewat Tano Ponggol yang menghubungkan pulau Samosir dan Pulau Sumatera melalui wilayah yang bernama Tele. Sebelum turun ke Pangururan, singgahlah dulu di kecamatan Sianjur Mula-mula. Disitu sedang menunggu Batu Obon dan Aek Sipitu Dai (air dengan tujuh rasa yang berbeda) serta rumah tradisional Batak. Di dalam Batu Obon inilah, kata orang, tersimpan harta pusaka Saribu Raja. Ini tempat memukau juga. Karena hingga kini tak ada yang bisa membuka peti pusaka yang terbuat dari batu itu.

Tomok adalah konsentrasi turis. Dengan berjalan kaki, berangkatlah ke desa Tuk-tuk Siadong. Disitu terdapat pemakaman raja Sidabutar yang terbuat dari batu-batu zaman pra-sejarah atau sering disebut Sarcophagus. Makam yang terbuat dari batu itu utuh tanpa ada persambungan sama sekali, yang dipahat sebagai tempat untuk meletakkan mayat raja Sidabutar, penguasa Tomok pada waktu itu.

Kemudian perjalanan bisa dilanjutkan menuju ke desa Siallagan. Disini menanti perkampungan orang Batak, dengan kursi-kursi batu tempat persidangan, dan tempat eksekusi bagi yang akan menjalani hukuman mati. Tak pula jauh dari situ desa Simanindo. Ada lokasi perkampungan Batak, dimana pengunjung bisa menonton wayang Batak si Gale-gale. Di seberang jalan ada museum yang memajang benda-benda kuno.

Dengan kepercayaan tentang manusia Batak pertama yang turun di pucuk bukit dan alam Danau Toba yang mempesona, ada yang mengatakan wisata ke sana adalah menikmati perpaduan mistik dan kemolekan alam.

* tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah TAPIAN, edisi Juli 2008.

Menikmati Danau Toba Dari Berbagai Tempat



By Sahala Napitupulu.

Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100kmx 30km dan kedalaman maksimum mencapai 505 meter. Ditengah danau ini terdapat sebuah pulau bernama Samosir. Diperkirakan Danau Toba terjadi akibat letusan gunung berapi sekitar 3000 tahun lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super). Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2800 km3, dengan 800 km3 batuan ignimbrit dan 2000km3 abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke Barat selama 2 minggu.

Setelah letusan tersebut, terbentuklah kaldera yang kemudian terisi oleh air yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Sedangkan tekanan keatas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.

Karena begitu luas, secara kasat mata Danau Toba ini lebih mirip lautan dibandingkan danau. Danau ini juga merupakan danau terbesar serta terdalam di Asia Tenggara. Danau Toba Na Uli. Itulah ungkapan yang sering terdengar dari mulut orang Batak. Artinya Danau Toba nan penuh pesona. Siapapun yang datang kesana akan berdecak kagum menatapnya. Airnya terlihat tenang dan membiru. Dilingkupi udaranya yang segar menambah kenyamanan lokasi ini.

Untuk sampai ke Danau Toba dari kota Medan, biasanya orang akan menuju ke kota Parapat terlebih dulu. Jika menggunakan mobil, waktu tempuh antar kedua kota yang jaraknya kurang lebih 185 kilometer ini ialah sekitar 4 jam.

Pemandangan Danau Toba dari sisi Parapat rasanya sudah umum diketahui orang. Tetapi keindahan danau ini bisa pula dinikmati dari berbagai sisi. Untuk itu Anda perlu mengubah arah perjalanan Anda saat menuju danau Toba ini. Dan hasilnya, Anda akan bisa menikmati wajah Danau Toba melalaui beberapa desa dari 7 kabupaten yang bersinggungan dengan Danau Toba.

TAO SILALAHI.

Dalam bahasa Batak, tao berarti danau. Tao silalahi merupakan bagian dari Danau Toba. Tao Silalahi secara administratif masuk ke wilayah Desa Silalahi, kecamatan Silalahi Sabungan, Kabupaten Dairi. Berjarak sekitar 128 km dari Medan.

Bagi Anda yang baru pertama kali melihat Tao Silalahi pasti akan berdecak kagum menatap panoramanya. Betapa tidak, Tao Silalahi ini memiliki hamparan pantai yang sangat indah sepanjang 28 km. Meskipun dalam fasilitas pariwisata masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Parapat atau Tuk-Tuk Samosir, namun Tao Silalahi memiliki potensi alam untuk dikembangkan sebagai wisata air dan olah raga pantai. Jika Anda menyusuri desa Silalahi Anda pun akan menemukan bangunan bersejarah berupa 42 rumah adat berusia sekitar 250 tahun. Dahulu, desa Silalahi merupakan sebuah kerajaan yang dibangun oleh raja Silalahi Sabungan.

Karena letaknya dibibir danau Toba, tidak heran warga desa Silalahi banyak membudi dayakan ikan dengan membuat keramba-keramba ikan, terutama ikan mas dan mujair sebagai mata pencaharian penduduk.

Jika Anda ingin datang ke Tao Silalahi, bisa ditempuh lewat dua jalur darat. Pertama, melewati jalur lintas Medan-Sidikalang, ibu kota Kabupaten Dairi, kemudian diteruskan melalui jalur Merek-Raya. Kedua, melalui jalur lintas Medan-Pematang siantar yang juga harus diteruskan melewati jalur Merek-Raya. Jalur Merek-Raya meruapakan jalur penghubung kota Pematangsiantar dengan kabupaten Dairi.

BAKARA.

Terkenal dengan hamparan lembahnya yang dipagari deretan perbukitan. Bentangan lembah datar seluas ratusan hektar dari Kabupaten Humbang Hasundutan ini menawarkan keindahan alam penuh pesona. Bakara, sebuah perkampungan di tano Batak di tepi Danau Toba. Dahulu, Bakara merupakan pusat pemerintahan Sisingamangaraja I hingga XII, persisnya di desa Lumbanraja. Disini terdapat istana raja si Singamangaraja yang baru dipugar tahun 1992.

Jika Anda berjalan menyusuri desa Bakara, Anda akan merasakan suhu udara disini yang sejuk dan dingin. Dan sehabis berjalan, untuk melepas dahaga, Anda bisa minum air dari berbagai mata air yang ada. Airnya jernih dan sehat. Di Bakara ada banyak mata air, tetapi mata air utama yang terbesar adalah Aek Sitio-tio. Selain itu, Anda akan menemui beberapa air terjun. Namun yang paling dikenal sebagai obyek wisata adalah Aek Sipangolu. Bahkan oleh penduduk sekitar Aek Sipangolu dipercaya sebagai “ air suci “ yang bisa menjadi obat untuk berbagai penyakit.

Lembah Bakara cukup subur dan memberikan hasil panen yang baik untuk tanaman padi, bawang dan palawija. Sejak dulu lembah Bakara sudah dikenal sebagai lembah eksotis yang menyimpan muatan sejarah dan budaya Batak. Pusat dinasti si Singamangaraja ada disini. Karena itu, mengunjungi Bakara sesungguhnya bukan saja menikmati keindahan alam Danau Toba, tetapi juga melihat situs sejarah penting kerajaan Batak.

Letak Bakara hanya belasan kilometer dari Dolok Sanggul, ibu kota Kabupaten Humbang Hasundutan. Jika Anda datang dari Medan sebaiknya memilih jalur dari Kaban Jahe terus ke Dairi menuju Dolok Sanggul. Selain waktu tempuhnya lebih singkat, sekitar 5 jam, Anda pun bisa menikmati keindahan alam sepanjang perjalanan.

TONGGING.

Tidak seperti Bakara, Tongging minim obyek sejarah dan budaya yang dapat menjadi pendukung nilai pariwisata. Selain itu, penginapannya masih biasa saja. Begitu juga dengan kafe dan restoran serta fasilitas hiburan lain yang belum banyak tersedia. Tapi tak perlu khawatir dengan keterbatasan itu. Sebab lingkungan alam Tongging mampu menyediakan suasana teduh dan tenang. Sesuatu yang mungkin tak Anda dapatkan ditempat lain.

Menatap Tongging mata serasa tak pernah puas. Desa kecil yang terletak ditepian Danau Toba ini selain dikaruniai tanah yang subur, juga dianugerahi panorama alam mempesona. Ya, jejeran perbukitan hijau disekitar Tongging sungguh menarik minat orang untuk berlama-lama menatapnya. Tongging merupakan salah satu obyek wisata andalan dari Kecamatan Merek, Kabupaten Karo.

Selain itu, Tongging berada tepat ditengah-tengah daerah yang didiami tiga sub-etnis suku Batak, yakni Batak Toba, Pak-Pak dan Karo yang bercampur baur menjadi satu. Maka jika Anda berkunjung ke Tongging, jangan heran jika Anda akan melihat penduduk disitu lazim menguasai tiga bahasa sub-etnis itu sekaligus mampu menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari.

Hingga kini Tongging hanya dapat ditempuh melalui jalan darat saja. Sebetulnya, perjalanan menuju Tongging akan lebih nikmat dan mudah dicapai seandainya tersedia kapal-kapal penumpang, seperti halnya dari Parapat ke Samosir atau daerah lain yang bertepian dengan Danau Toba

Dari kota Medan, perjalanan Anda menuju Tongging melalui tanah Karo akan memakan waktu sekitar 3 jam. Dari Medan, Anda perlu menuju simpang tiga Kecamatan Merek untuk kemudian tiba di Sipiso-piso hingga akhirnya menuruni jalanan beraspal menuruni perbukitan Gunung Sipiso-piso.

Secara umum Tongging dikenal sebagai produsen ikan emas, nila dan mujahir. Selain itu, kegiatan pertanian yang menghasilkan sayur-mayur berupa cabai, tomat, bawang dan aneka sayuran lainnya juga menjadi mata pencaharian utama penduduk.

MUARA.

Bila Anda hendak menikmati keindahan Danau Toba melalui Kabupaten Tapanuli Utara, Muara bisa menjadi pilihan tempatnya. Muara tidaklah sesibuk dan sebising Parapat, Balige atau Porsea. Muara jauh lebih tenang dan nyaman. Boleh jadi itulah salah satu daya tarik tersendiri yang dimiliki Muara.

Hamparan pantainya, dengan panorama langsung ke arah Danau Toba sangat mempesona. Sementara diujung lepas pantainya, terhampar sebuah pulau lain yang juga ada di Danau Toba. Itulah pulau Sibandang. Jaraknya sangat dekat. Hanya 900 meter dari tepi pantai Muara. Untuk mencapainya ada angkutan kapal reguler atau langsung menyewa perahu nelayan disitu. Pulau Sibandang ini dihuni sekitar lima ratusan kepala keluarga selama 18 generasi. Karena banyak tertutup oleh pohon mangga, tempat ini juga dikenal sebagai Pulau Mangga.

Dari dahulu Muara memang terkenal sebagai penghasil buah mangga. Sekalipun bentuknya kecil, kira-kira segenggaman tangan, tetapi mangga Muara rasanya sangat manis. Sejak dulu pula, Muara memasok mangga untuk wilayah Toba dan sekitarnya. Tetapi orang terlanjur mengenalnya mangga Parapat.

Untuk Anda yang akan berkunjung kesana, ada dua alternatif darat yang bisa ditempuh. Rute pertama melewati Bakara dan rute kedua melalui Balige. Jarak dari Bakara ke Muara kira-kira 12 km. Jika Anda berangkat dari Medan, rute pertama bisa Anda capai melalui Medan-Berastagi-Merek-Bakara dan kemudian langsung ke Muara. Rute darat kedua bisa dicapai dari Medan-Parapat-Porsea-Balige. Kemudian melewati pertigaan simpang Muara di ruas jalan Balige-Siborong-borong. Dari pertigaan simpang Muara menuju ke Muara sekitar 21 km.

Setelah Anda tiba di Muara dan menikmati keindahan panorama Danau Toba, Anda bisa menyusuri sebuah gua bernama Liang Siraja Manghumi. Ini adalah sebuah gua yang sangat dalam dan panjang yang terletak di pegunungan yang membentengi Muara. Konon, gua ini punya tiga arah jalan ke luar. Satu menuju Bakara, satu ke Tarutung dan satunya lagi masih belum terpetakan. Menurut kisah warga setempat, didalam gua itu terdapat beberapa jeram bawah tanah. Jika Anda ingin melongok gua tersebut, Anda perlu menuju ke desa Piarung terlebih dulu lalu dari situ berjalan kaki menuju arah perbukitan. Tapi jangan lupa untuk mengajak pemandu yang benar-benar handal.

HARANGGAOL.

Haranggaol terletak di sebelah barat Danau Toba. Tempat ini adalah bagian dari wilayah Kabupaten Simalungun. Penduduk disini adalah Batak Simalungun. Harang menurut bahasa Simalungun berarti tempat atau sangkar, sedangkan kata gaol berarti pisang. Pada masa lalu, haranggaol adalah penghasil pisang yang terkenal di Danau Toba dan sekitarnya.

Haranggaol juga terletak tepat di tepi Danau Toba. Pantainya indah dengan panorama alam yang memukau. Berkat pesona alam tersebut Haranggaol sering dijadikan daerah transit sebelum atau sesudah orang melancong ke Tomok di pulau Samosir dari Parapat. Selain untuk wisata pantai, Haranggaol sering dijadikan sebagai tempat olah raga terbang laying atau gantole. Dan bila liburan sekolah tiba, banyak pelajar memanfaatkan tempat ini untuk berkemah.

Letak Haranggaol cukup strategis. Jika Anda tertarik datang ke Haranggaol, Anda dapat mencapainya dengan angkutan darat dan angkutan danau di sekeliling Danau Toba. Haranggaol berjarak 71 km dari ibu kota kabupaten Simalungun, Pematangsiantar. Dapat ditempuh dari Medan melalui dua jalur yakni Medan-Berastagi-Saribudolok-Haranggaol. Atau melalui jalur Medan-Pematang siantar dan kemudian Haranggaol.

Haranggaol dikenal sebagai penghasil bawang merah dan bawang putih. Tak sedikit pula warga setempat yang memanfaatkan bibir pantai untuk budidaya ikan. Sehingga tidak heran bila disepanjang pantai Haranggaol Anda menjumpai banyak bertebaran keramba apung untuk ikan emas, mujahir dan nila.

BALIGE.

Balige merupakan ibu kota Kabupaten Tobasa. Tempat ini memiliki panorama pantai yang indah. Jika Anda datang ke bibir pantainya, untuk menunggu saat matahari terbenam, Anda bisa bersantap ikan emas panggang atau natinombur dengan bumbu andaliman. Salah satu hidangan khas Batak ini bisa Anda jumpai khususnya dibeberapa desa tepi pantai. Mulai dari desa Lumban Silintong, Tara Bunga hingga ke Meat. Dari pusat kota Balige, Anda hanya butuh beberapa puluh menit naik kendaraan untuk mencapai desa-desa tersebut.

Balige juga terkenal dengan pasar rakyat “ Onan raja “. Pasar Balige ini ramai didatangi saudagar-saudagar dari hampir seluruh desa yang ada di desa Tobasa, bahkan dari Kabupaten samosir, Tapanuli Utara dan lain-lain.

Dari kota Balige, Anda juga bisa mengunjungi rumah budaya Jangga Dolok. Inilah daerah pemukiman rumah Batak dengan ornamen Batak tradisional. Jaraknya 38 kilometer dari kota Balige. Rumah budaya Jangga Dolok telah berumur sekitar 200 tahun dan telah dihuni hingga 8 generasi sampai sekarang. Disini pula Anda akan mendapatkan bermacam corak dan warna ulos adat buatan tangan. Anda pun dapat melihat langsung bagaimana penduduk setempat membuat ulos.

Kecamatan Lumban Julu adalah tempat lain yang bisa Anda kunjungi dari Balige. Sekitar setengah jam perjalanan dari Balige. Dikecamatan itu terdapat lokasi wisata yang disebut Taman Eden 100. Taman ini mempunyai 100 jenis pohon buah-buahan yang bisa dikonsumsi.

TOMOK.

Tempat ini masuk kedalam wilayah Kabupatren samosir. Hingga kini kabupaten ini masih merupakan tempat favorit untuk wisatawan nusantara maupun mancanegara. Serbagai tujuan pariwisita pulau ini telah lama dikenal dan dikagumi para turis. Pasalnya, di pulau samosir terdapat banyak pilihan daerah pariwisata. Baik yang mengandalkan panorama alam, keunikan spiritual dan budaya serta peninggalan sejarah hingga wisata air Danau Toba.

Tomok adalah pintu utama dan pusat konsentrsasi turis di pulau Samosirt. Tidak jauh dari situ, didesa Tuk-Tuk, terdapat pemakaman raja Sidabutar yang terbuat dari batu-batu jaman pra-sejarah atau sering disebut Sarcophagus. Perjalanan bisa Anda teruskan ke obyek-obyek wisata lainnya seperti desa Siallagan, Simanindo dan lain-lain.

Untuk mencapai pulau samosir, Anda dapat menggunakan kapal penumpang atau ferry dari Parapat. Sarana transportasi air tersedia di dermaga Ajibata maupun Tigaraja. Sekitar 45 menit perjalanan Anda akan tiba di Tomok.

Sebagai alternatif lain menuju pulau Samosir Anda pun bisa melalui jalan darat. Menempuh jalur ini Anda akan melewati Tano Ponggol melalui Tele. Tano Ponggol adalah jalan yang menghubungkan pulau Samosir dengan pulau Sumatera. Jalannya sangat curam dan sempit. Sehingga bila dua mobil berpapasan, maka mobil yang akan turun harus mengalah dan berhenti sampai mobil yang dari bawah lewat. Namun sebelum Anda turun menuju Pangururan, ibukota kabupaten ini, Anda sebaiknya menikmati dulu pesona alam dan keindahan Danau Toba melalui Menara Pandang Tele.


* tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah TAPIAN, edisi April 2008,

Edward Pesta Sirait, Mimpi Ulos Inang Dalam Seluloid



Kiri : Sosok Edo sekarang.

Kanan : Ketika mengarahkan Nurul Arifin dan Deddy Mizwar dalam fim 2 dari 3 Laki-Laki,1989.


By.Sahala Napitupulu.

Kecintaanya pada seni menghantarkannya ke dunia teater dan film. Dan dunia film kemudian melambungkan namanya. Dia senang dengan cerita drama dan kecenderungannya adalah realisme. Dia telah membuat 16 judul film layar lebar dan para pemainnya sering masuk nominasi dalam festival film. Ita Mustafa yang tampil dalam Gadis Penakluk, film yang disutradarainya, merebut piala Citra sebagai Aktris Terbaik tahun 1980. Uniknya, dalam sejarah Festival Film Indonesia, tak satupun piala Citra untuk kategori Sutradara Terbaik yang pernah diberikan kepadanya. Itulah Edward Pesta Sirait atau akrab dipanggil Bung Edo.

Meski sekarang usia tak lagi muda, namun ia amat bersemangat bila diajak berbicara soal film. Dalam usia senjanya, ia masih punya mimpi ingin memfilmkan skenario yang telah lama dia tulis. Sebuah skenario yang bercerita tentang perjalanan ulos dari hasil tenunan sang ibu di bonapasogit untuk kelak diselimutkan pada sang cucu laki-laki pertama. “ Cerita itu saya tulis mengambil inspirasi dari pengalaman masa kecilku. Ibuku dahulu adalah seorang penenun ulos yang trampil, “ ujar Edo. Ia sangat memuji karya tenun ulos ibunya. Menurutnya, ulos tenunan ibunya sudah sering dipesan orang ketika masih dalam tahap pengerjaan. “ Boleh jadi, darah kesenimananku turun darinya. Ibuku itu seniman, “ katanya mengenang.

Dilahirkan di Porsea, Tapanuli Utara pada 7 Agustus 1941. Edo merupakan anak ke 7 dari 9 bersaudara dari orangtua Hendrik Raja Sirait dan Marta br.Situmorang. Pengalaman masa kecilnya dahulu, katanya, sangat menyenangkan. Edo kecil adalah anak yang senang bermain. “ Ketika kanak-kanak, saya dan teman-teman senang bermain perang-perangan. Saya yang selalu memimpin permainan. Enggak tahu kenapa, dimata teman-teman saya selalu ditokohkan “ katanya mengurai masa lalu.

Salah satu permainan yang dia suka waktu itu ialah membuat film kartun dalam bentuknya paling sederhana. Caranya, ia membuat orang-orangan dari kertas kartun. Orang-orangan tersebut lalu dikaitkan ke benang yang melintang dan bisa dia putar maju dan mundur melalui dua gulungan benang. Kesannya orang-orangan tersebut dapat bergerak maju atau mundur ketika gulungan benang tersebut diputar-putar. Orang-orangan itu kemudian dia proyeksikan ke kain layar atau didinding memanfaatkan cahaya lilin atau lampu teplok. Hasil proyeksi itulah yang ditonton oleh teman-temannya sebagai film animasi. Sebuah film animasi yang sederhana. “ Itulah yang dulu sering saya lakukan dan teman-temanku menonton film kartun buatanku itu, “ Edo menambahkan.

Lubang Khusus

Beranjak remaja, minatnya pada film terus berlanjut. Kala itu ia sudah mulai keranjingan nonton film bioskop. “ Waktu saya sekolah SMP di Balige. Saya dan teman-teman dulu sering nonton film di bioskop. Film Tarzan dan Flash Gordon, beberapa yang masih saya ingat. Saya dan teman-teman menontonnya sering dengan ngintip melalui lubang khusus, kalau kami tak punya uang untuk membeli tiket atau kalau film yang diputar kebetulan untuk17 tahun keatas, “. Dari keseringan menonton itulah, ia pun mulai melihat film bukan hanya sebagai hiburan, tapi sebagai media ekspresi jiwa yang amat menarik untuk dia pelajari di kemudian hari.

Seperti sebuah film, dia memutar kenangannya. Masa itu tahun 1961. Keluarganya membawa Edo ke Jakarta. Sebelumnya ia pernah tinggal beberapa waktu di Medan. Di Jakarta Edo tinggal dirumah abangnya. Dia disekolahkan di SMA 9 Bulungan. Tapi, Edo mengaku, sebagai murid ia tidaklah terlalu bodoh tapi juga tidak terlalu pintar. Hingga tahun 1963, pendidikan SMA itu bisa dia selesaikan dengan prestasi biasa-biasa saja. Tetapi, setelah tamat kemana dia akan melanjutkan ? Ia tak begitu pasti, pada mulanya.

Suatu hari, menurut kisahnya, ia melihat iklan penerimaan mahasiswa baru U.I.Extension Hukum. Edo pun mendaftar. Setelah lulus tes, ia mulai bersiap-siap untuk mengikuti perpeloncoan. Tetapi, tiba-tiba ia melihat sebuah iklan lain, penerimaan mahasiswa baru Akademi Teater Film Indonesia (ATFI). Edo tertarik. Ia mendaftarkan diri. UI ditinggalkannya dan masuk ke ATFI. Namun, setelah kuliah berjalan setahun ternyata dia tak mendapatkan apa-apa. Ia kecewa.“ Yang dipelajari kebanyakan hanya ideologi negara dan bahasa Inggris, “ katanya. Edo pun ogah-ogahan kuliah.

Dikemudian hari, ia tahu ada tempat kuliah kesenian yang lain, yaitu Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). “ Saya melihat jajaran dosennya kayaknya meyakinkan. Saya lihat disitu ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Pmd, D.Djaya Kusuma dan Sitor Situmorang, “ ujarnya melanjutkan cerita. Ia tertarik untuk belajar pada dosen-dosen tersebut. Segera ATFI ia tinggalkan dan masuk ke ATNI. Disini, katanya, dia baru menemukan apa yang telah lama dia cari. Kala itu tahun 1964. “ Di ATNI lah, saya belajar banyak tentang teater dan sejarahnya, tentang film dan sejarahnya hingga ke cara pembuatan film. Apalagi kala itu, sebagian dosen-dosen ATNI baru selesai belajar dari luar negeri. Sehingga semangat mereka mengajar luar biasa untuk mentransfer pengetahuan kepada mahasiswanya, “ katanya tentang pendidikannya di ATNI.

Waktu di ATNI, ada beberapa karya drama harus dia pentaskan sebagai praktek kuliahnya. Salah satunya, yang pernah dia pentaskan Hilang Tanpa Bekas, karya drama Jean Paul Sartre. “ Waktu itu kami mahasiswa seringkali harus melakukan semuanya. Ya,sebagai pemain, pembuat dekor, kostum, make-up hingga keurusan produksinya, “ Edo menambahkan. Dua tahun lamanya, Edo berkutat belajar teater dan film secara akademis di ATNI.

Piala Akhnaton di MEsir

Dari ATNI ia kemudian masuk kedalam dunia industri film. Dia memulainya sebagai pembantu sutradara Wahyu Sihombing di tahun 1966, untuk film dokumenter. Namanya saja asisten sutradara, karena prakteknya hampir semua bagian dia disuruh Wahyu Sihombing. Mulai dari mengerjakan urusan konsumsi hingga kebagian penyambungan film alias Editing. Tetapi, dari keadaan seperti itu justru ia banyak belajar. Edo kemudian hari terlibat dalam pembuatan beberapa film cerita, sebagai asisten sutradara Asrul Sani, Djaya Kusuma, Nyak Abbas Acub, Wim Umboh dan lain-lain.

“ Saya juga pernah bekerja sebagai karyawan, ketika baru menikah tahun 1967. Saya pernah menjadi asisten manager pertunjukan di Sarinah dan bekerja di Miraca Sky Club. Kemudian tahun 1970-1971 saya pernah bekerja di Taman Ismail Marzuki bagain stage management. “ Ia mempersunting Gontina boru.Tambunan.

Meski dia telah banyak terlibat sebagai asisten sutaradara untuk film layar lebar, tapi Edo secara mental ternyata belum siap untuk menyutradarai film sendiri. Beberapa tawaran produser pernah dia tolak karena merasa belum siap. Sebagai uji coba, tahun 1975, Edo lalu memilih untuk membuat film iklan melalui perusahaan Ariza Jaya Film. iklan-iklan produk seperti susu, sabun, shampoo dan lain-lain, waktu itu banyak dia kerjakan. “ Waktu itu film iklan saya sering diputar di TVRI, “ katanya. Itu adalah masa belajarnya sebagai sutradara. Setahun menjadi sutradara film iklan dia rasa sudah cukup. Maka pada tahun 1977, ketika datang tawaran padanya untuk menyutradarai film layar lebar, jenis film anak-anak, segera ia terima dengan antusias. Film itu berjudul Chica. Pengalaman dan ilmu penyutradaraan yang telah dia dapat dari beberapa sutradara film, kini ia tumpahkan kedalam karya film pertamanya ini.

Dalam beberapa bulan syuting film Chicha pun rampung. Film perdananya ini kemudian disertakan oleh Departemen Penerangan pada Festival Film di Mesir. Hasilnya, film Chicha menyabet piala Akhnaton (1977) di Kairo untuk kategori Film Terbaik Anak-Anak. Diputar di biskop-bioskop di Indonesia, film Chica banyak mendapat pujian, selain meraih sukses komersil. Sesudah itu, ia menyutradarai lagi film anak-anak Ira Maya Si Anak Tiri. Lagi-lagi sukses secara komersil. Sedangkan untuk kategori film dewasa, yang paling banyak mendatangkan penonton adalah film Buah Terlarang (1979) dan Bila Saatnya Tiba (1985).

“ Khusus dalam pembuatan film Bila Saatnya Tiba ada kepuasan tersendiri. Karena ego saya sebagai sineas film banyak terlampiaskan disitu. Sebab skenario film dan penyutradaraannya saya yang kerjakan, “ kataya. Tapi, tak semua film Edo berhasil meraih banyak penonton. Film Sang Guru, meski sarat dengan kritik sosial, ternyata tak diminati publik. Film layar lebar terakhir yang disutradarai Edo berjudul Joshua Oh Joshua (2001). Sayang, film terakhirnya ini tak terlalu menggembirakan.

Dunia film Indonesia kemudian mengalami mati suri. Yang menjadi tren sejak awal tahun 2000-an adalah film serial untuk televisi. Banyak sutradara film layar lebar terserap kedalam tren ini, termasuk Edo. Edo sempat membuat film serial televisi, antara lain Misteri Gunung Merapi dan Karmala Ramayana yang ditayangkan Indosiar sampai ratusan episode.

Sekitar 4 tahun Edo menyutradarai film serial televisi yang dikerjakan dengan semangat kejar tayang. Tapi, ia tak menemukan kepuasan batin disitu, karena semata-mata untuk cari uang. “ Akhirnya, saya bosan karena tidak ada lagi sentuhan artistik disitu. Dan saya tak lagi memperpanjang kontrak saya untuk fim serial TV, “ jelas Edo tentang kerja kerasnya berjuang diantara kepentingan seni dan komersialisasi.

“ Sesungguhnya saya lebih cenderung memilih fungsi film itu sebagai media pendidikan, setelah sekolah sebagai media pendidikan formal. Tapi, itu yang kurang diperhatikan baik pemerintah maupun swasta. Sehingga dari dulu sampai sekarang fungsi film yang terlalu ditonjolkan adalah segi komersialnya. Yang kemudian berujung pada pembodohan terhadap masyarakat. Banyak film TV atau sinetron sekarang yang dibuat tidak nalar, “ katanya melontarkan kritik diiringi suaranya yang meninggi dan ia tampak emosional.

Empat puluh tahun lebih, Edo telah mengabdikan hidupnya pada dunia film. Umurnya kini 67 tahun sudah. Namun, Ia belum merasa perlu untuk pensiun dari dunia film. “ Ini yang saya minta pada Tuhan. Jika saya memang diberi kesehatan, mati sampai umur 70 tahun, maka umur itu akan saya abdikan untuk berkarya dan memberi makna bagi keluarga, bagi masyarakat maupun bagi negara, “ katanya.

Ayah dari 4 orang anak ini masih punya mimpi yang belum kesampaian dan semangatnya masih membara untuk membuat film berdasarkan skenario yang telah ia tulis. Dengan sesuloid, Edo ingin berkisah tentang perjalanan ulos yang ditenun oleh seorang perempuan yang sangat dia kenal dan cintai, ibunya.

**************

Filmografi Edward Pesta Sirait

Nominasi di Festival Film Indonesia

  • Film "Gadis Penkluk" (1981) dinominasikan sebagai film terbaik
  • Ria Irawan dalam film "Bila Saatnya Tiba" (1986) (nominasi)
  • Dhalia dalam film "Bukan Istri Pilihan"
  • Paramitha Rusady dalam film "Blok M" (Nominasi)
  • Tutie Kirana dalam film "Buah Terlarang" (nominasi)
  • Remy Silado – Frans Haryadi dalam film Tinggal Sesaat Lagi
  • Ira Maya Sopha –dalam film Ira Maya Si Anak Tiri

* tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah TAPIAN, edisi November 2008.